Scroll untuk baca artikel
Head LineHukum & KriminalLingkungan Hidup

Polisi Ciduk Penambang Pasir Liar di Desa Sriminosari, Lampung Timur

×

Polisi Ciduk Penambang Pasir Liar di Desa Sriminosari, Lampung Timur

Sebarkan artikel ini
Satuan Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Polres Lampung Timur menggerebek aktivitas penambangan pasir ilegal di Desa Sriminosari, Kecamatan Labuhan Maringgai, pada Selasa (22/7/2025).- foto doc

LAMPUNG TIMUR – Membandel, akhirnya Satuan Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Polres Lampung Timur menggerebek aktivitas penambangan pasir ilegal di Desa Sriminosari, Kecamatan Labuhan Maringgai, pada Selasa (22/7/2025).

Dalam penggerebekan tersebut, polisi berhasil mengamankan Joko Sunarto, warga Dusun 2, yang diduga kuat sebagai pemilik sekaligus aktor utama tambang ilegal tersebut.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Bersamanya, polisi turut mengangkut dua unit mesin penyedot pasir, pipa paralon panjang (yang nyaris sepanjang alasan pelaku), serta dua truk pengangkut pasir hasil tambang liar.

Aktivitas penambangan ini disebut telah berlangsung selama tiga bulan cukup untuk mengisi kolam renang komunitas, tapi sayangnya, tanpa seizin negara.

“Pemilik lokasi sekaligus pelaku penambangan yang diduga tanpa izin sudah kita amankan. Barang bukti langsung kita bawa ke Mapolres,” jelas Kanit Tipiter, Iptu Meidy Hariyanto, di lokasi kejadian yang kini lebih mirip halaman rumah tanpa pagar hukum.

Guna menghentikan seluruh aktivitas tambang liar tersebut, petugas langsung memasang garis polisi (police line) yang fungsinya kali ini seperti pita ulang tahun, hanya saja menandai ‘ulang kesalahan’.

“Pelaku akan dijerat dengan Pasal 158 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan tanpa izin. Ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar,” tegas Meidy dengan suara yang nyaring, seolah bersaing dengan dengungan mesin sedot pasir.

Belum diketahui secara pasti ke mana pasir-pasir hasil kerukan ini dialirkan apakah ke proyek pembangunan atau sekadar memperluas lubang masalah lingkungan. Yang jelas, penambangan ilegal kerap menjadi bisnis “basah” yang tidak peduli jika ekosistem sekitar menjadi kering.

Tambang liar seperti ini bukan hanya soal hukum, tapi juga menyisakan efek domino dari kerusakan lingkungan, abrasi, hingga potensi konflik sosial.

Namun, selama truk-truk terus berlalu lalang dan pasir tetap laku, kekhawatiran warga mungkin lebih pada macet ketimbang keadilan.

Kini masyarakat berharap, penindakan semacam ini bukan sekadar episode sinetron hukum musiman. Apakah Joko hanyalah pion dari jaringan tambang ilegal yang lebih besar? Itu masih jadi misteri mudah-mudahan investigasinya tidak ikut ditambang pakai alat berat.***