JAKARTA — Segudang jargon pendidikan gratis dan wajib belajar 12 tahun yang didengungkan negara, masih terdapat seorang siswa lulusan SMK Jakarta 1 Pondok Kopi harus menelan kenyataan pahit.
Siswa tersebut berinisial RA, ijazahnya tak kunjung mendarat ke tangannya meski sudah setahun sejak ia resmi lulus. Alasannya? Ia belum membayar “mahar” senilai Rp 4.606.000.
Bahkan diduga RA tak sendiri melainkan banyak yang telah lulus namun belum menerima bukan uang muka rumah, bukan cicilan motor listrik, melainkan biaya untuk “menebus” secarik kertas yang katanya simbol keberhasilan pendidikan.
Tokoh utama dalam kisah ini bernama Rizal Apandi, alumni kelas XII TKR 2, lulusan tahun ajaran 2024/2025. Alih-alih merayakan kelulusan dengan setelan jas pinjaman dan backdrop “Graduation Day”, Rizal harus berjuang menghadapi kenyataan bahwa ijazahnya ditahan. Kenapa? Karena orang tuanya belum bisa melunasi biaya-biaya seperti:
- SPP: Rp 1.750.000
- Penuntasan: Rp 1.356.000
- Praktik: Rp 500.000
- Pelepasan: Rp 1.000.000
- Total: Rp 4.606.000 — belum termasuk biaya mental dan rasa malu ditolak HRD karena tak punya dokumen kelulusan.
BOS dan BOSP: Singkatan yang Membingungkan
Padahal, menurut LSM DPP LINAP yang menerima aduan dari Rizal, pemerintah punya program dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan BOSP (Bantuan Operasional Satuan Pendidikan).
“Katanya dana ini untuk meringankan beban pendidikan, bahkan di sekolah swasta. Tapi entah mengapa, alih-alih meringankan, malah membuat ijazah terasa seperti benda mewah yang hanya bisa ditebus setelah pelunasan syarat administratif,”ungkap Aji Sekjend LSM LINAP kepada Wawai News, Jumat 8 Agustus 2025.
“Kalau ijazah sudah kayak cincin tunangan, harus lunas dulu baru bisa dipakai, terus apa kabar Pasal 31 UUD 1945?” ujar imbuh Aji dengan nada yang setengah geli, setengah gundah.
Ijazah: Kertas Suci yang Hanya Bisa Dibeli?
Kini Rizal hanya bisa menatap lowongan pekerjaan dari balik layar handphone, karena tak bisa melamar tanpa ijazah. “Bisa sih, ngelamar jadi figuran sinetron atau admin ‘japri no WA ya kak’, tapi ijazah tetap jadi syarat kalau mau kerja yang beneran,” keluhnya sambil nyengir.
Aji sekjen LINAP mengaku telah menghadap langsung ke SMK tempat RA lulus dan belum mendapatkan ijazah guna menanyakan langsung, namun tetap ijazah tidak berikan sebelum melunasi kekurangan.
“Bahkan pihak yayasan mengaku ijazah yang ditahan bukan hanya punya RA, tapi masih banyak ijazah siswa lain yang telah lulus belum diberikan karena hal yang sama belum lunas,”tegas Aji.
Fenomena ini bukan yang pertama. Penahanan ijazah karena tunggakan biaya seakan menjadi warisan budaya tak tertulis di dunia pendidikan. Jika Shakespeare masih hidup, mungkin ia akan menulis tragedi baru berjudul “To Pay or Not To Pay, That is the Ijazah.”
Akhir kata, LSM LINAP meminta transparansi dari pihak SMK Jakarta 1 Pondok Kopi terkait penggunaan dana BOS dan BOSP. Karena jika subsidi ada, tapi realitas masih menyiksa, maka jargon pendidikan gratis hanyalah lelucon nasional yang makin hari makin sulit ditertawakan.
Ijazah bukan warisan kerajaan. Ia seharusnya bukan hak istimewa, melainkan bukti sah pendidikan yang sudah dijalani. Bila satu anak miskin ditahan ijazahnya, maka yang gagal bukan dia, tapi sistem yang katanya pro rakyat.***