Scroll untuk baca artikel
Zona Bekasi

Operasi Beras Murah: Pemerintah Obati Inflasi dengan Plester

×

Operasi Beras Murah: Pemerintah Obati Inflasi dengan Plester

Sebarkan artikel ini
Wali Kota Bekasi Tri Adhianto tampak sumringah membuka Gerakan Pangan Murah (GPM) di 12 kecamatan, Sabtu 30 Agustus 2025

KOTA BEKASI — Barisan warga di Rawalumbu pagi itu mengular panjang. Demi sekarung beras lima kilo seharga Rp57 ribu, antrean nyaris mirip antre tiket konser idola K-Pop. Bedanya, yang diperebutkan bukan hiburan, melainkan kebutuhan pokok paling dasar, makan.

Wali Kota Bekasi Tri Adhianto tampak sumringah membuka Gerakan Pangan Murah (GPM) di 12 kecamatan. Program nasional ini diklaim serentak di 7.285 titik se-Indonesia, bagian dari perayaan HUT RI ke-80.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Kebutuhan pokok masyarakat harus tetap terjangkau. Pemerintah hadir dengan pangan murah agar semua warga bisa merasakan keringanan di tengah fluktuasi harga pasar,” ujar Tri Adhianto penuh optimisme, Sabtu 30 Agustus 2025.

Optimisme yang barangkali terdengar pahit di telinga warga yang sudah terbiasa mendapati harga beras di warung mencapai Rp15 ribu per kilogram. Bandingkan dengan harga resmi di GPM: Rp12 ribu per kilogram, atau Rp60 ribu per 5 kilo. Diskon ala negara.

Antrean Panjang, Stok Terbatas

Di Rawalumbu saja, jatah awal 2 ton ludes dalam hitungan jam. Pemerintah terpaksa menambah 2 ton lagi siang harinya. Total 4 ton beras untuk satu kecamatan dengan puluhan ribu warga. Hitung sendiri siapa yang kenyang, siapa yang gigit jari.

Asisten Daerah Pemprov Jabar, Sumasna, dengan bangga menyebut tiap kecamatan di Jabar mendapat 7 ton per hari.

“Program ini jalan terus sampai harga stabil atau minimal sampai Desember,” katanya di Bandung. Kedengarannya meyakinkan, meski 7 ton per kecamatan masih terasa seperti setetes air di lautan.

Selain beras SPHP dari Bulog, GPM juga menjual minyak goreng, gula pasir, dan kebutuhan pokok lain. Intinya, operasi pasar ini jadi semacam paket survival bagi warga di tengah inflasi. Ayu Lintang, ibu rumah tangga di Gegerkalong, Kota Bandung, mengaku lega bisa menghemat Rp30 ribu hanya dengan membeli dua bungkus beras. “Lumayan banget,” katanya polos.

Lumayan. Kata sederhana yang sering menjadi mantra rakyat ketika negara hanya mampu memberi plester pada luka bernama inflasi.

Di Jakarta, tiga menteri sekaligus ikut meluncurkan program ini: Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Mendagri Tito Karnavian, dan Menteri Perdagangan Budi Santoso. Dirut Bulog Ahmad Rizal Ramdhani pun membeberkan angka bombastis: 43.665 ton beras disalurkan serentak di 4.302 kecamatan, 413 kantor polisi, 449 titik TNI, dan 419 lokasi lain.

Tito bahkan menegaskan stok cadangan beras pemerintah aman: 4 juta ton, dengan 1,3 juta ton disiapkan khusus untuk stabilisasi harga hingga Desember. Klaim stabilisasi ini konon sudah menurunkan jumlah daerah dengan inflasi tinggi, dari 233 kabupaten/kota jadi “hanya” 200.

Fakta lapangan tetap saja berbicara: warga harus antre berjam-jam demi 5 kilo beras. Sementara pejabat sibuk mengutip angka cadangan jutaan ton yang entah tersimpan di mana. Inflasi memang bisa diukur dengan statistik, tapi perut lapar tetap menuntut nasi di meja.

Gerakan Pangan Murah akhirnya lebih mirip ritual politik tahunan ketimbang solusi jangka panjang. Hari ini rakyat gembira bisa beli beras Rp12 ribu/kg. Besok, harga kembali melambung, dan antrean baru akan terbentuk lagi.

Merdeka? Ya, tapi masih sebatas merdeka dari harga beras mahal… untuk satu hari saja.***

SHARE DISINI!