Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 03/09/2025
WAWAINEWS.ID – Gaza selalu menjadi isu sensitif. Herois. Bagi publik Indonesia.
Mulai dari kutuk mengutuk kekejaman Israil. Penggalangan bantuan. Hingga tudingan/hujatan: “lambannya respon pemerintah RI”.
Heroisme itu paradoks, ketika pemerintah RI menerjukan bantuan langsung. Melalui air drop. Respon ummat Islam sepi. Tidak ada respon heroistis sama sekali.
Al Jazera melaporkan (5-8-2025), sejak 7-10-2023, lebih 18.000 anak-anak tewas. Equivalen 28 anak meninggal per hari. Atau tidak sampai satu jam, ada satu anak gaza meninggal oleh perang.
Anadolu Agency menambahkan 12.400 wanita tewas. Sementara UNICEP menyatakan lebih 50.000 anak-anak telah tewas atau terluka. Sejak konflik dengan Israil dimulai 7-10-2023.
Memperingati kemerdekaan, pemerintah RI menembus blokade warga Gaza oleh Israil. Berbagai upaya diplomasi ditempuh: belum berhasil. Jalan masih panjang untuk mewujudkan keinginan Indonesia: two state solution. Air drop bantuan logistik dipilih untuk meringankan warga Gaza.
Tanggal 17-8-2025, tepat hari kemerdekaan, misi kemanusiaan pemerintah RI menerjunkan 80 ton bantuan tahap pertama. Tanggal 19 Agustus diterjunkan 10 ton bantuan. Secara keseluruhan ditargetkan penyaluran bantuan pangan melalui udara sebanyak 800 ton.
Misi menembus blokade Gaza itu dilakukan 66 anggota TNI (Garuda Merah Putih II, plus BAZNAS & pejabat). Menggunakan 1200 prasut.
Kenapa respon ummat Islam Indonesia sepi?. Bahkan terkesan tidak peduli. Berbanding terbalik dengan heroisme selama ini.
Kita cermati fenomena ini melalui beberapa perspektif.
Pertama, Fenomena Paradox of Action. Paradoks Aksi. Pada saat pemerintah benar-benar bertindak, sebagian publik merasa “care-nya diambil alih negara”. Publik menjadi merasa kehilangan ruang ekspresi. Aksi pemerintah justru dicurigai sebagai pencitraan politik.
Fenomena seperti ini sering muncul di negara demokrasi. Ketika suara rakyat “dikerjakan” oleh negara. Muncul kecurigaan ada agenda tersembunyi.
Kedua, Fenomena Politicization of Solidarity. Bahwa sejatinya isu Gaza selama ini hanya dijadikan komoditas politik oleh pihak tertentu. Alat menggalang massa, mengukuhkan identitas kelompok. Bahkan mobilisasi dukungan partai.
Begitu pemerintah mengambil langkah besar (airdrop, rencana rumah sakit, dll.), sebagian kelompok merasa kehilangan “monopoli isu”. Maka muncul reaksi balik, berupa framing negative. Panggung politik mereka terancam direbut pemerintah.
Ketiga, Fenomena Cognitive Dissonance (Kebingungan Kolektif). Sebagian masyarakat sudah terlanjur menaruh skeptisisme permanen pada pemerintah. Ketika pemerintah melakukan hal baik pun, mereka mengalami disonansi kognitif: sulit menerima bahwa “lawan politik” bisa melakukan kebaikan.
Cara meredakan konflik batin itu adalah dengan menyerang, menjelekkan, atau menolak. Meskipun secara logika bertentangan dengan aspirasi awal.
Keempat, Fenomena Identity Politics vs National Policy. Solidaritas terhadap Gaza di tingkat umat/grassroots biasanya dibangun lewat narasi keumatan. Sedangkan langkah pemerintah selalu hadir dalam bingkai kebijakan nasional.
Ketika dua narasi ini bertemu, sering muncul benturan identitas. Sebagian merasa pemerintah “tidak berhak” mengklaim peran. Solidaritas keumatan dianggap milik umat, bukan negara.
Kelima, Fenomena Distrust Spiral (Spiral Ketidakpercayaan). Ada basis krisis kepercayaan lama antara sebagian kelompok umat dengan pemerintah. Apapun yang dilakukan pemerintahbaik atau burukakan dipelintir sebagai salah. Solidaritas Gaza hanya jadi “trigger” untuk menyalakan kembali sentimen anti-pemerintah.
Bisa saja paradoks aksi Gaza juga merupakan kombinasi fenomena: Politik Identitas, keterputusan narasi dan distrust structural.
Politik identitas: solidaritas keumatan dijadikan alat politik. Bahwa kepedulian terhadap Palestina selama ini syarat muatan politisasi oleh sebagia tokoh ummat.
Keterputusan narasi: pemerintah gagal meyakinkan publik bahwa aksi ini murni kemanusiaan, bukan pencitraan.
Distrust structural: ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang berlangsung lama. Membuat apapun langkah pemerintah dipelintir.
Singkat kata, paradok aksi Gaza (apatisme terhadap langkah pemeritah di Gaza) adalah fenomena “politisasi solidaritas + spiral ketidakpercayaan”. Bisa diduga selama ini isu Palestina dipakai sebagian pihak sebagai panggung domestik. Bukan semata kepedulian internasional. Ketika peran diambil pemerintah, mereka tidak memiliki panggung lagi.
Apapun kemungkinannya, langkah pemerintah di Gaza perlu kita dukung. Merupakan amanat UUD 1945: “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Jumlah korban anak-anak dan wanita sudah cukup alasan: setiap manusia tidak boleh diam soal Gaza.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)