Scroll untuk baca artikel
Lintas Daerah

Ibu Ini Nekat Racuni Anak dan Gantung Diri, Tinggalkan Surat Wasiat Soal Utang dan Suami

×

Ibu Ini Nekat Racuni Anak dan Gantung Diri, Tinggalkan Surat Wasiat Soal Utang dan Suami

Sebarkan artikel ini
ilustrasi Gantung Diri
ilustrasi Gantung Diri

BANDUNG – Peristiwa memilukan terjadi di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jumat (5/9/2025). Seorang ibu berinisial EN ditemukan meninggal dunia dengan cara gantung diri setelah sebelumnya meracuni dua anaknya yang masing-masing berusia 11 bulan dan 9 tahun. Kedua anak tersebut juga ditemukan tak bernyawa di dalam rumah.

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol. Hendra Rochmawan, membenarkan peristiwa tersebut. “Iya benar, ada kejadian tersebut. Saat ini anggota masih dalam perjalanan ke lokasi untuk melakukan olah TKP,” ujarnya.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Polisi menemukan surat wasiat yang ditinggalkan EN. Dalam surat berbahasa Sunda, ia menyampaikan permohonan maaf kepada orang tua dan keluarganya. Isi surat mengungkapkan beban hidup akibat lilitan utang yang tak kunjung selesai, rasa lelah lahir batin, serta kekecewaan terhadap suami yang dianggap penuh kebohongan dan meninggalkan tumpukan utang.

Dalam terjemahannya, EN menulis bahwa ia sudah tidak kuat menjalani hidup, merasa dikucilkan, dan malu terus membebani keluarga. Ia menyebut kematian dirinya dan anak-anak mungkin bisa menjadi “cara terakhir” agar suaminya sadar.

Polda Jabar memastikan akan mendalami lebih jauh latar belakang keluarga korban, termasuk soal utang yang disebut dalam surat wasiat. Polisi juga akan memeriksa pihak keluarga dan lingkungan sekitar untuk mengungkap lebih detail kondisi psikologis dan tekanan hidup yang dialami korban sebelum mengambil keputusan tragis tersebut.

“Surat sudah diamankan, nanti penyelidikan akan mengarah ke faktor-faktor penyebab yang membuat korban melakukan tindakan nekat ini,” jelas Hendra.

Tragedi Keluarga, Panggilan Alarm Sosial

Kasus EN bukan hanya menyisakan duka mendalam, tetapi juga alarm keras soal kondisi sosial masyarakat. Tekanan ekonomi, tumpukan utang, dan relasi rumah tangga yang rapuh bisa menjadi pemicu tragedi. Peristiwa ini menegaskan perlunya ruang aman bagi korban kekerasan verbal maupun ekonomi, serta pentingnya akses dukungan sosial dan konseling bagi keluarga yang sedang terpuruk.

Para ahli psikologi keluarga menekankan bahwa tragedi seperti ini seharusnya bisa dicegah jika lingkungan sekitar peka terhadap tanda-tanda keputusasaan. Banyak kasus serupa di Indonesia yang menunjukkan pola sama: lilitan utang, tekanan sosial, hingga tidak adanya jalur bantuan cepat.

Ini Surat lengkap Versi Sunda:

Mamah, bapa, ema, bapa, teteh, aa sadayana hampura abi, hampura abi ngalakukeun kieu.

Abi tos cape lahir batin, abi tos teu kuat ngajalani hirup kieu, abi cape hirup ngagugulung hutang nu euweuh beresna, kalah beuki nambahan beuki dieu teh. Bari abi te apal hutang ka saha wae, sabaraha atawa urut naon…

Abi cape boga salaki gede bohong wae teh, euweuh sadarna. Abi cape dinyerihatekeun wae teh, puguh ning ku batur geus dikucilkeun, pada ngomongkeun, pada mikangewa bari jeung teu ramasa salah.

Boga salaki kalah hayoh we gede bohong jeung gede hutang, CAPEEEEEEEEEEEEE sugan abi jeung budak geus maot mah aya sadarna, mun henteu sadar ge keun bae nu penting teu nyangsarakeun ka budak abi.

Era karunya ngahesekeun wae lanceuk + kolot teh, abi geus eweuh mah moal ngahesekeun wae.

Hampura abi teu bisa mulang tarima ka kolot jeung lanceuk-lanceuk.

Terjemahan bahasa Indonesia:

Mama, bapak, ibu, teteh, aa, semuanya maafkan saya, maafkan saya melakukan hal ini.

Mama, bapak, ibu, teteh, aa, semuanya maafkan saya, maafkan saya melakukan hal ini.

Saya sudah lelah lahir batin, saya sudah tidak kuat menjalani hidup seperti ini. Saya lelah hidup terhimpit utang yang tidak ada habisnya, malah semakin lama semakin bertambah. Sementara saya sendiri tidak tahu utang ke siapa saja, berapa jumlahnya, atau dari mana asalnya…

Saya lelah punya suami yang hanya besar omongan dan penuh kebohongan, tidak ada kesadarannya. Saya lelah terus disakiti, padahal orang lain sudah mengucilkan, banyak yang membicarakan, banyak yang merasa jijik, sementara saya sendiri merasa tidak salah.

semakin banyak bohong dan utang, CAPEEEEEEEEEEEEE. Saya pikir kalau saya dan anak sudah mati, mungkin dia baru sadar. Kalau pun tidak sadar ya biarlah, yang penting tidak menyengsarakan anak saya.

Saya malu dan kasihan terus merepotkan kakak dan orang tua. Kalau saya sudah tidak ada, setidaknya tidak akan terus merepotkan.

Maafkan saya karena tidak bisa membalas budi kepada orang tua dan kakak-kakak.***