Scroll untuk baca artikel
Lingkungan Hidup

Kali Mati di Medansatria: Saat Sungai Tersumbat, Nurani pun Macet

×

Kali Mati di Medansatria: Saat Sungai Tersumbat, Nurani pun Macet

Sebarkan artikel ini
Forum RW Kelurahan Medansatria miris dengan situasi kali di Harapan Indah Bekasi.

KOTA BEKASI – Dahulu, kali di wilayah RW 09 Kelurahan Medansatria, Kecamatan Medansatria, lebarnya delapan meter. Sekarang, delapan meter tinggal kenangan separuh tertimbun bangunan, separuh lagi tertutup sampah. Airnya hitam legam, lebih mirip kopi basi daripada aliran kehidupan.

“Dulu anak-anak bisa mancing ikan, sekarang jangankan ikan, jangkrik aja enggak mau lewat,” ujar Suhanda, Ketua RW 09, dengan nada getir, Senin 6 Oktober 2025.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Di matanya, kali yang dulu riang kini seperti pasien ICU, napasnya tersengal, tapi belum juga diurus dokter.

Jika dokter menyebut kolesterol sebagai pembunuh diam-diam, maka kali ini tersumbat bukan oleh lemak, melainkan oleh pembangunan tanpa izin dan empati.

Bangunan-bangunan liar berdiri gagah di bantaran, seolah menantang hukum fisika dan hukum negara.

Suhanda menduga banyak bangunan itu tumbuh tanpa izin. “Bangunannya bukan cuma nyempil di pinggir kali, kadang sampai nongol di atasnya,” keluhnya.

Yang lebih ajaib lagi, pengembang dan pemilik usaha justru menambah koleksi jembatan-jembatan pribadi. Bukan jembatan impian, tapi jembatan penyebab banjir: rendah, sempit, dan rajin menahan sampah.

“Setiap kali hujan, airnya nyangkut di bawah jembatan itu, kayak nasib warga yang nyangkut di janji normalisasi,” tambah Suhanda.

Banjir di Medansatria bukan lagi tamu musiman. Ia sudah kontrak tahunan. Setiap hujan deras, air hitam pekat datang mengunjungi rumah-rumah, membawa aroma limbah dan kenangan pahit.

Anak-anak dilarang main, orang tua sibuk menumpuk karung pasir, dan warga cuma bisa menatap langit antara berdoa agar hujan berhenti, atau agar pejabat akhirnya turun tangan.

“Ini bukan cuma soal air kotor, tapi soal rasa keadilan yang ikut tercemar,” ucap seorang warga.

Kali yang kotor ternyata adalah cermin paling jujur dari tata kelola kota, kaku, dangkal, dan mudah tersumbat.

Di RW 07, Jafar, Ketua RW yang sudah berkali-kali jadi juru bicara warga, tampak mulai lelah. Ia menunjuk ke arah bendungan yang hidroliknya macet total.

“Bendungan ini enggak bisa dioperasikan. Buka-tutup air? Ya buka terus, tutupnya yang enggak pernah,” katanya sinis.

Menurutnya, bendungan itu mestinya menjadi rem alamiah saat debit air naik. Tapi kini, ia malah jadi monumen ketidakpedulian saksi bisu dari birokrasi yang lebih sering rapat daripada bekerja.

“Kami sudah capek dengar janji. Warga butuh aksi. Jangan cuma datang pas banjir, foto, terus hilang,” ujar Jafar, separuh marah, separuh menyerah.

Warga masih berharap walau tipis, seperti aliran air kali yang tersisa. Mereka ingin kali kembali hidup, ingin air mengalir jernih lagi, dan ingin pejabat turun tangan bukan hanya untuk spotlight kamera.

“Normalisasi kali ini bukan cuma soal pengerukan lumpur, tapi juga pengerukan hati nurani,” sindir salah satu warga muda yang ikut bersih-bersih dengan sekop dan doa.

Kini, di bawah langit Bekasi yang mendung, kali di Medansatria terus mengalirkan kisah sedihnya.

Airnya hitam, tapi bukan karena alam karena niat yang tak pernah jernih dari mereka yang berwenang.

“Kalau kali ini bisa bicara, mungkin dia cuma bilang: aku bukan mampet aku ditelantarkan.”celetuk warga hanya bisa menatap air berlalu dan berkata lirih.***

SHARE DISINI!