Scroll untuk baca artikel
Opini

Sumpah Pemuda 5.0: Persatuan Indonesia di Era Society 5.0

×

Sumpah Pemuda 5.0: Persatuan Indonesia di Era Society 5.0

Sebarkan artikel ini
Hari Sumpah Pemuda Tanggal 28 Oktober (ilustrasi)

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 27/10/2025

WAWAINEWS.ID – Pada 28 Oktober 1928, para pemuda menulis sejarah. Di tengah aroma penjajahan dan ketakutan, mereka menyalakan api kesadaran baru: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia.

Tiga kalimat sederhana, tapi mengguncang fondasi kolonialisme. Sumpah Pemuda bukan hanya ikrar politik, melainkan kontrak moral untuk membangun bangsa dari reruntuhan perpecahan. Saat itu, Indonesia masih terpecah dalam ratusan suku, kerajaan, dan bahasa ibarat kepingan kaca yang belum dirangkai menjadi cermin kebangsaan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Di hadapan penjajah yang lihai memainkan politik divide et impera, persatuan adalah satu-satunya senjata pamungkas. Tanpa kesatuan, kemerdekaan hanya akan jadi wacana, bukan kenyataan.

Dari 1.0 ke 5.0: Evolusi Perjuangan

Zaman berganti. Dunia berputar cepat bahkan lebih cepat dari kemampuan manusia memahami dirinya sendiri.
Jika Sumpah Pemuda 1.0 berjuang melawan penjajahan fisik, maka Sumpah Pemuda 5.0 kini berhadapan dengan bentuk penjajahan baru: algoritma, disinformasi, hegemoni digital, dan ketergantungan ekonomi global.

Era 1.0 adalah masa lahirnya kesadaran nasional.
Era 2.0 menandai modernisasi dan integrasi sosial.
Era 3.0 adalah digitalisasi dan konektivitas tanpa batas.
Era 4.0 mempertemukan manusia dengan mesin.
Dan kini, Era 5.0 Society 5.0 berusaha mengembalikan manusia sebagai pusat dari peradaban teknologi yang kian tak berjiwa.

Namun pertanyaannya: apakah manusia Indonesia siap menjadi pusat kemajuan itu? Atau justru terjebak sebagai konsumen algoritma dari bangsa lain?

Musuh Baru, Medan Baru

Dahulu, musuh kita berwajah jelas: penjajah dan senjata. Kini musuh itu tak terlihat tersembunyi dalam layar ponsel, server data asing, dan arus informasi yang mengaburkan kebenaran.
Perang telah bergeser dari medan fisik ke ruang digital.
Dari senjata api ke weapon of information.
Dari peluru ke narasi.

Di era Sumpah Pemuda 5.0, “penjajahan” berarti kehilangan kendali atas data, pikiran, dan identitas bangsa.

Ketika opini publik bisa dibentuk oleh algoritma, dan kedaulatan ekonomi bergantung pada platform luar negeri maka sesungguhnya, bentuk penjajahan baru sedang berlangsung secara diam-diam.

Dari Persatuan Fisik ke Persatuan Digital dan Moral

Jika 1928 menuntut persatuan teritorial dan bahasa, maka 2025 menuntut persatuan intelektual dan moral.
Bangsa ini tidak lagi diuji oleh kekuatan senjata, melainkan oleh kecepatan berpikir, kejernihan informasi, dan ketahanan karakter.

Sumpah Pemuda 1.0 menyatukan tanah air dan bahasa.
Sumpah Pemuda 5.0 harus menyatukan data, literasi, dan ideologi.

Strategi Perjuangan Generasi 5.0

  1. Membangun literasi digital sebagai benteng ideologi.
    Literasi digital bukan sekadar bisa scroll, share, dan post. Ia adalah kemampuan berpikir kritis, memilah kebenaran dari kebohongan, dan menggunakan teknologi untuk menebar kemaslahatan. Pemuda 5.0 harus mampu menulis kode seperti menulis puisi, dan membaca data seperti membaca sejarah bangsanya.
  2. Membangun infrastruktur cerdas yang berdaulat.
    Smart city, energi hijau, dan sistem transportasi digital tak akan bermakna tanpa kedaulatan data. Sebab data adalah minyak baru, dan bangsa yang tak berdaulat atas datanya akan terus jadi penonton di panggung revolusi industri.
  3. Meneguhkan Pancasila sebagai algoritma moral bangsa.
    Di tengah derasnya arus kecerdasan buatan, kita butuh kecerdasan kebangsaan. Pancasila harus menjadi operating system nilai dalam setiap keputusan teknologi, ekonomi, dan sosial.

Sumpah Pemuda 5.0: Ikrar Baru Bangsa Digital

Jika semangat 1928 dihidupkan kembali dalam bahasa zaman kini, mungkin bunyinya begini:

Satu: Aku pemuda Indonesia, setia pada ideologi nasional dan cita-cita Pancasila, menjaga bangsa dari ketimpangan, kebodohan, dan kehilangan arah moral.
Dua: Aku berjuang menegakkan kedaulatan digital dan informasi, menggunakan teknologi untuk kebaikan, melawan disinformasi, dan menolak dijajah algoritma.
Tiga: Aku bersatu dalam keberagaman, berkarya lintas batas, dan mengabdi pada kemanusiaan di dunia tanpa sekat.

Dari Bambu Runcing ke Inovasi

Generasi 1928 berjuang merebut kemerdekaan.
Generasi 2025 berjuang mempertahankannya.
Bukan dengan bambu runcing, tapi dengan pengetahuan, integritas, dan kesadaran teknologi.

Sumpah Pemuda 1.0 melahirkan bangsa.
Sumpah Pemuda 5.0 harus melahirkan kedaulatan baru kedaulatan digital yang berakar pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

Karena di era Society 5.0, perjuangan terbesar bukan lagi melawan penjajah dari luar, tapi melawan kehilangan makna dari dalam.

ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)