KOTA BANDUNG — Mulai 2 Januari 2026, truk dengan muatan berlebih (Over Dimension Over Loading/ODOL) resmi menjadi masa lalu di Jawa Barat.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan, tidak ada lagi kompromi bagi industri yang masih bersikeras mengangkut barang menggunakan kendaraan raksasa yang selama ini menjadi momok di jalanan.
“Kita ini sudah gila-gilaan membangun jalan,” ujarnya lantang dalam pertemuan bersama Bupati Subang Reynaldy Putra Andita Budi Raemi, Perum Jasa Tirta (PJT) II, dan AQUA Group di Bandung, Rabu (29/10/2025).
“Biasanya anggaran pembangunan jalan hanya Rp400 miliar sampai Rp800 miliar. Sekarang kita naikkan jadi Rp3 triliun. Tapi masa tiap tahun uang rakyat habis hanya untuk memperbaiki jalan yang rusak karena truk kelebihan muatan?”
Pernyataan itu disambut tepuk tangan para peserta pertemuan. Tapi di luar gedung, banyak warga yang justru menatap getir: jalan rusak memang sudah jadi pemandangan sehari-hari. Jalan mulus hanya bertahan seumur jagung, sementara truk ODOL tetap lalu lalang seolah kebal hukum.
“Truknya Ganti, Bukan Aturannya yang Dibelokkan”
Dedi Mulyadi atau KDM, begitu sapaan akrabnya menegaskan bahwa larangan ODOL bukan sekadar kebijakan lalu lintas, melainkan koreksi moral terhadap keserakahan ekonomi.
“Mulai tanggal 2 Januari 2026 harus ganti, bukan truk besar. Saya tegas sekarang, di pertambangan pun dipaksa pakai truk dua sumbu,” ujarnya.
Bagi KDM, kebijakan ini bukan anti-industri. Ia ingin menegakkan keadilan ekonomi: jangan sampai satu pihak menumpuk untung di atas jalan yang rusak, sementara pemerintah terus menambal lubang dengan uang rakyat.
“Saya mau bersikap bijak. Ekonomi ini tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak. Harus ada keadilan,” tegasnya.
Di lapangan, keadilan yang dimaksud tampak sederhana jalan yang tidak bergelombang, jembatan yang tak runtuh sebelum waktunya, dan rakyat yang tak perlu lagi berdoa setiap kali melintasi truk dengan muatan menggantung sampai ke udara.
Subang Sudah Mulai Bergerak
Bupati Subang Reynaldy Putra Andita Budi Raemi mengaku sudah mendahului langkah itu lewat Peraturan Bupati Nomor 21 Tahun 2025 tentang Jam Operasional Kendaraan Berat.
Aturan tersebut membatasi jam melintas kendaraan bertonase besar demi menjaga keselamatan dan ketertiban jalan.
“Kami sudah batasi jam operasionalnya. Dengan mengganti armada jadi kendaraan lebih kecil, distribusi tetap jalan tanpa melanggar ketentuan waktu,” jelasnya.
Dengan kata lain, Subang sedang belajar menyeimbangkan antara logistik dan logika bahwa efisiensi bukan berarti membiarkan jalan jadi korban.
Industri Mulai Siaga: Antara Taat dan Tersesak
Sementara itu, AQUA Group, salah satu perusahaan besar yang hadir dalam pertemuan tersebut, menyatakan tengah mempersiapkan langkah transisi.
Mereka mengakui, perubahan ini akan memakan waktu karena banyak mitra distribusi yang harus menyesuaikan armadanya.
“Kami sedang beradaptasi. Tidak mudah memang, tapi kami mendukung kebijakan pemerintah daerah,” kata perwakilan AQUA Group singkat.
Perusahaan besar biasanya masih bisa mengganti armada. Namun di sisi lain, banyak pengusaha kecil dan sopir angkutan berharap ada masa transisi yang manusiawi, agar tak kehilangan mata pencaharian secara tiba-tiba.
Di tengah euforia larangan ODOL, publik masih menyimpan satu pertanyaan klasik: siapa yang benar-benar diawasi setelah kebijakan ini berlaku?
Truk-truk ODOL sudah lama jadi “raja jalanan” bukan hanya karena ukurannya besar, tapi juga karena mereka sering dibiarkan melintas meski sudah jelas melanggar.
“Kalau pemerintah bisa tegas di lapangan seperti tegas di podium, mungkin jalan kita akan lebih awet,” sindir seorang warga Subang yang ditemui di jalur Pantura.
Dan barangkali benar juga selama hukum masih bisa “dilibas” oleh muatan lebih, jalan yang hancur hanya cerminan dari kebijakan yang setengah hati.
Keadilan Jalan Raya
KDM tampak bertekad membalik keadaan. Ia ingin Jawa Barat menjadi provinsi yang tidak hanya membangun jalan, tetapi menjaga umur jalan. Kebijakan larangan ODOL bukan hanya tentang beton, tetapi tentang cara pandang terhadap pembangunan.
Bahwa jalan bukanlah korban dari ekonomi, melainkan urat nadi yang harus dijaga bersama.
“Cukup jalan kita yang lelah,” tutup KDM dengan nada sarkastik namun bermakna.
“Jangan rakyatnya juga yang ikut menanggung beban.”***















