Scroll untuk baca artikel
Lampung

“44 Tahun Pemerintah Kuasai Tanah Warga Tanpa Ganti Rugi: Kantor Bupati Tulang Bawang Berdiri di Atas Ketidakadilan!”

×

“44 Tahun Pemerintah Kuasai Tanah Warga Tanpa Ganti Rugi: Kantor Bupati Tulang Bawang Berdiri di Atas Ketidakadilan!”

Sebarkan artikel ini
Lokasi komplek perkantoran Pemkab Tulang Bawang - foto doc ist

TULANG BAWANG – Ada yang lebih abadi dari janji politik, rupanya janji ganti rugi tanah. Sengketa lahan seluas 10 hektare yang kini berdiri megah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Tulang Bawang kembali bergolak setelah 44 tahun berlalu tanpa sepeser pun kompensasi bagi pemilik sahnya ahli waris almarhum Hanafi Gelar St. Nimbang Alam.

Lahan ini bukan tanah kosong biasa. Di atasnya berdiri Rumah Dinas Bupati, Wakil Bupati, Sekretaris Daerah, Ketua DPRD, hingga SMA Negeri 1 Menggala. Dengan kata lain, seluruh jantung pemerintahan Tulang Bawang berdenyut di atas tanah yang, secara hukum, bukan milik pemerintah.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Namun ironinya, selama lebih dari empat dekade, pemerintah daerah belum pernah mengganti rugi, meski sudah ada empat putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang menegaskan kepemilikan sah ahli waris Hanafi.

Dari tingkat Pengadilan Negeri Kotabumi tahun 1989 hingga Peninjauan Kembali Mahkamah Agung tahun 2002, semuanya satu suara: tanah itu bukan milik Pemkab.

BACA JUGA :  Bantuan Excavator Dongkrak Produksi Budidaya di Tulang Bawang

Tapi apa daya, hukum tampaknya hanya kuat di atas kertas bukan di atas tanah.

Empat Kali Menang, Empat Puluh Empat Tahun Menunggu

Kuasa hukum ahli waris, Kantor Hukum Gindha Ansori Wayka & Rekan (GAW Law Office), kini kembali mengetuk pintu hukum, kali ini langsung ke Menteri Dalam Negeri RI. Surat bernomor 02080/B/GAW-Law Office/XI/2025, tertanggal 5 November 2025, berisi permohonan agar pemerintah pusat turun tangan menyelesaikan persoalan yang mereka sebut sebagai “warisan pengabaian negara.”

Surat itu ditandatangani delapan advokat, yang mewakili Nasobri, S.Ag, ahli waris sekaligus pemilik sah lahan. Dalam suratnya, mereka menegaskan bahwa sejak tahun 1981, tanah itu digunakan oleh pemerintah untuk kantor eks Pembantu Bupati Wilayah Menggala dan kini berkembang menjadi kompleks perkantoran elit Pemkab Tulang Bawang.

Lebih menarik lagi, ternyata Bupati Tulang Bawang tahun 1997, H. Santori Hasan, pernah secara resmi mengakui bahwa lahan tersebut memang milik ahli waris Hanafi. Surat bernomor 593/258/02/97 bahkan menyebutkan rencana pembentukan tim dan penganggaran ganti rugi di APBD Tahun 1998/1999.
Namun, seperti banyak hal di negeri ini, janji itu dikubur lebih dalam dari arsip kantor.

BACA JUGA :  Kadinkes Lampung Pasang Baliho  Idul Fitri 2023, Netizen: Pada Mau Maafin Ga?

“Negara Hukum” yang Masih Belajar Hukum

Kuasa hukum menilai, kasus ini bukan sekadar soal ganti rugi, tapi soal integritas negara hukum.

“Empat puluh empat tahun bukan waktu singkat. Ini bukan hanya pengabaian administratif, tapi pengingkaran terhadap prinsip keadilan dan hak kepemilikan warga negara,” tegas Ansori, SH., MH, selaku kuasa hukum utama sebagaimana rilis yang diterima redaksi Wawai News, Rabu 5 November 2025.

Tim hukum GAW Law Office bahkan mengirimkan tembusan surat tersebut ke berbagai lembaga tinggi negara: mulai dari Presiden RI, Ketua DPR RI, Menteri Keuangan, Menko Polhukam, Menteri ATR/BPN, Jaksa Agung, Kapolri, hingga Gubernur Lampung dan Bupati Tulang Bawang. Sebuah langkah yang menunjukkan: kalau bicara di kabupaten tak didengar, maka suara harus naik pangkat.

Bola panas berada di tangan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang. Di satu sisi, ada kompleks pemerintahan yang megah dan nyaman berdiri. Di sisi lain, ada putusan pengadilan yang final, namun dibiarkan menguning di rak hukum.

BACA JUGA :  Revitalisasi Total Jadi Solusi Kembalikan Kejayaan Tambak Udang di Bumi Dipesena

Jika diibaratkan, tanah ini seperti tamu yang rumahnya dipinjam tanpa izin, tapi malah dijadikan kantor tuan rumah. Bedanya, tamu itu sudah memenangkan empat kali gugatan, tapi tetap disuruh menunggu “proses administrasi.”

“Kami tidak mencari sensasi, kami mencari keadilan. Sudah saatnya negara hadir bukan hanya untuk membangun kantor di atas tanah rakyat, tapi juga membayar hak rakyat yang dijadikan fondasinya,” tutur Ansori.

Kasus ini bukan sekadar sengketa tanah. Ia adalah potret buram relasi antara rakyat dan negara, ketika hukum yang sudah final masih kalah oleh keengganan birokrasi.

Sementara itu, kompleks pemerintahan Tulang Bawang tetap berdiri tegak di atas tanah yang bersertifikat sah atas nama orang lain.

Dan selama ganti rugi tak kunjung dibayar, setiap rapat, setiap upacara, dan setiap apel pagi di halaman kantor bupati, sesungguhnya sedang berlangsung di atas bukti konkret: bahwa keadilan di negeri ini kadang lebih sulit dibangun daripada gedung pemerintahan itu sendiri.***