SIBOLGA – Ironi terbesar dalam sejarah rumah ibadah mungkin terjadi Jumat malam itu (31/10/2025). Di tempat yang seharusnya paling aman, paling suci, dan paling memeluk seorang pemuda bernama Arjuna Tamaraya (21) justru meregang nyawa. Bukan karena perampok, bukan karena kecelakaan laut, melainkan karena tidur di masjid.
Lima orang lelaki yang mestinya jadi penjaga kesucian ruang ibadah justru berubah menjadi algojo. Mereka Chandra Lubis (38), Rismansyah Efendi Caniago (30), Zulham Piliang (57), Hasan Basri (46), dan Syazwan Situmorang (40) kini ditetapkan sebagai tersangka.
Satu di antaranya bahkan sempat mengambil uang Rp10 ribu dari kantong korban setelah memastikan korban tak bernyawa. Sebuah detail kecil, tapi cukup untuk membuat malaikat pun menunduk malu.
“Kami tidak akan mentolerir kekerasan, apalagi di rumah ibadah,” ujar Kasatreskrim Polres Sibolga AKP Rustam E. Silaban dengan nada yang lebih berat dari batu nisan korban.
Antropolog Universitas Indonesia Amanah Nurish menilai kasus ini bukan sekadar kriminal, tapi cermin rusaknya nalar keagamaan yang makin sempit dan eksklusif.
“Masjid kini bukan lagi ruang komunal seperti di masa Rasulullah, tapi berubah jadi ruang kekuasaan lokal. Ada yang merasa ‘memiliki’ masjid, lalu menentukan siapa boleh beribadah, siapa tidak boleh tidur,” katanya tajam.
Masjid yang dulu menjadi tempat musafir melepas lelah kini dikunci rapat selepas Isya, dikawal rasa curiga, dan dijaga bukan oleh iman, tapi oleh rasa takut kehilangan kotak amal.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Yenny Wahid dari Dewan Masjid Indonesia, “Masjid itu ruang kasih, bukan ruang penghakiman. Dulu Rasulullah bahkan mempersilakan orang terluka dan para musafir bernaung di sana.”
Kesalehan yang Tak Lagi Sosial
Riset Nathanael Gratias Sumaktoyo (University of Notre Dame) menemukan bahwa jumlah masjid di Indonesia meningkat hampir 80% sejak 1990, tapi toleransi dan inklusivitas justru menurun. Singkatnya, bangunan masjid makin megah, tapi isi hatinya makin mengecil.
“Jumlah masjid bertambah, tapi kualitas kesalehan sosial mundur. Kita sibuk membangun kubah, tapi lupa membangun empati,” sindir Amanah Nurish.
Fanatisme sempit, ditambah gengsi sosial baru yang menjadikan masjid sebagai simbol geng lokal telah melahirkan bentuk baru dari premanisme rohani. Preman-preman ini tak lagi nongkrong di terminal, tapi di serambi masjid, dengan label “pengurus” atau “penjaga ketertiban jamaah”.
Amanah menyebut kasus ini contoh premanisme di ruang ibadah.
“Siapa yang menguasai masjid, dia punya simbol kekuasaan. Masjid jadi alat kuasa, bukan tempat ibadah,” ujarnya.
Fenomena ini sejalan dengan penelitian Abdil Mughis Mudhoffir, yang menyebut pasca-Reformasi banyak muncul kelompok vigilante berbasis agama membungkus otoritarianisme dalam jubah moralitas.
Di tengah ketimpangan ekonomi, kelas menengah bawah yang frustrasi menemukan “rasa berkuasa” baru: mengatur siapa yang pantas tidur di rumah Tuhan.
Kisah Arjuna: Dari Laut ke Liang Lahat
Di tengah semua teori sosial itu, nama Arjuna Tamaraya tetaplah hanya seorang anak nelayan dari Simeulue, Aceh anak baik yang hanya ingin rebahan sebentar di rumah Tuhan.
Setelah ayahnya meninggal April lalu, Arjuna menjadi tulang punggung keluarga, membantu biaya kuliah kakak dan adiknya. Ia menunda kuliahnya demi mereka.
“Dia anak baik, pendiam, kalau bicara sopan. Dia cuma mau tidur sebentar sebelum melaut lagi,” kata pamannya, Kausar Amin, sambil menahan air mata.
Namun malam itu, serambi masjid bukan tempat istirahat. Ia justru diusir, dipukul, ditendang, diseret, dan dilempari kelapa sebelum nyawanya benar-benar pergi. Semua hanya karena tidur di tempat yang, konon, rumah Allah.
Masjid Ramah Masih Ada Tapi Langka
Di tengah kegelapan itu, masih ada cahaya dari Masjid Sejuta Pemuda At-Tin di Sukabumi, yang dikelola anak-anak muda dengan semangat keterbukaan. Mereka menyediakan 13.000 porsi makanan gratis setiap bulan, membolehkan musafir menginap tiga hari, dan menyediakan kasur lipat.
“Masjid dan keramahan itu seharusnya hal biasa, tapi hari-hari ini justru jadi hal istimewa,” ujar Anggy Sulaiman, pendirinya.
Refleksi: Rumah Tuhan Tak Perlu Diperluas, Cukup Dihidupkan
Kasus Arjuna di Sibolga bukan sekadar berita kriminal ia adalah tamparan spiritual. Bangunan masjid boleh berdiri megah dengan menara menjulang, tapi apa artinya jika tak ada ruang bagi kemanusiaan di dalamnya?
Masjid seharusnya jadi tempat orang beristirahat dari kerasnya dunia bukan tempat di mana nyawa melayang karena dianggap “mengganggu kesucian lantai marmer.” ***













