WAWAINEWS.ID – Halaman SMPN 13 Bekasi, Senin pagi itu, tak ubahnya panggung drama yang tak pernah diharapkan terjadi. Ratusan siswa berdiri berbaris, mata mereka tertuju pada seorang pria berbaju dinas cokelat, Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto.
Tapi kali ini ia bukan datang untuk meresmikan, bukan pula untuk sekadar memberi sambutan. Ia datang dengan hati yang koyak dan mata yang basah.
Di hadapan para siswa, Mas Tri sapaan akrabnya terdiam. Napasnya tersengal, suaranya tercekat. Air mata seorang kepala daerah tumpah saat ia membicarakan satu hal yang mestinya tabu, dugaan pelecehan yang dilakukan oknum guru, sosok yang semestinya menjaga marwah pendidikan.
“Sebagai kepala daerah, sekaligus sebagai orang tua, saya sangat kesal. Guru seharusnya menjadi teladan, bukan pengkhianat,” ucapnya, terbata namun tegas.
Bagi Tri, sekolah seharusnya menjadi rumah kedua. Tapi di SMPN 13, rumah itu retak. Anak-anak yang seharusnya aman belajar, justru dicekam rasa takut. Ironis: ruang kelas yang mestinya dipenuhi ilmu, malah dirusak oleh hawa nafsu seorang pendidik.
Di hadapan ratusan siswa yang terdiam, Tri melontarkan kalimat tajam lebih menusuk daripada peraturan tertulis mana pun:
“Anak-anakku harus berani speak up. Kalau ada hal yang tidak wajar, jangan diam. Laporkan ke guru, kepala sekolah. Kalau pun takut, langsung ke saya. Bisa pesan pribadi, bahkan datang ke rumah saya. Saya pastikan perlindungan untuk kalian.”
Ucapan itu bagai tamparan, bukan hanya bagi siswa, tapi juga bagi para guru dan pejabat pendidikan yang selama ini terlalu sibuk mengurus administrasi, lupa bahwa tugas utama mereka adalah melindungi.
Ironi besar mencuat, guru simbol moral malah terseret kasus amoral. Kepala sekolah garda terdepan justru apatis. Dunia pendidikan yang dielu-elukan sebagai “pilar bangsa” mendadak terlihat seperti bangunan rapuh yang siap runtuh hanya karena satu tiang yang lapuk.
“Bully tidak boleh ada lagi di sekolah ini. Jangan ada yang mencemooh teman dengan sebutan gemuk, kurus, tinggi, pendek. Itu semua racun,” lanjut Tri.
Ya, seakan-akan beliau ingin mengingatkan: jika predator tak mengintai, maka perundungan siap menunggu di sudut-sudut kelas. Sekolah bukan lagi rumah kedua, melainkan arena gladi trauma.
Dalam wawancara usai apel, Tri menegaskan: guru yang dilaporkan sudah dinonaktifkan, kasusnya sedang diproses di Polres Metro Bekasi Kota. Kepala sekolah SMPN 13 juga akan disanksi, karena dinilai lalai dan menutup mata.
“Ini peringatan keras. Guru itu bukan hanya profesi, tapi panggilan moral. Anak-anak adalah amanah. Jika ada guru yang tergelincir, jangan salahkan publik kalau mereka menagih harga moral kalian,” sindirnya pedas.
Pagi itu, ratusan siswa SMPN 13 menyaksikan air mata seorang wali kota. Tapi lebih dari itu, mereka menyaksikan potret buram pendidikan: ketika guru lebih ditakuti daripada soal ujian, ketika kepala sekolah lebih sibuk dengan laporan kertas daripada laporan murid, ketika sekolah berhenti jadi ruang aman dan berubah menjadi tempat anak-anak belajar arti trauma.
Tri menutup amanatnya dengan pesan sederhana, tapi menohok:
“Sekolah bukan tempat kalian takut. Sekolah adalah tempat kalian tumbuh.”
Kalimat yang seharusnya menjadi standar, kini terdengar seperti doa.***