Scroll untuk baca artikel
Opini

APBD Kepri: Anggaran Besar, Nyali Kecil, dan Pemerintahan yang Fobia Pada Kerja Nyata

×

APBD Kepri: Anggaran Besar, Nyali Kecil, dan Pemerintahan yang Fobia Pada Kerja Nyata

Sebarkan artikel ini
ilustrasi APBD
ilustrasi APBD

TANJUNGPINANG – APBD Kepulauan Riau kembali disajikan dengan seremoni bak peluncuran film blockbuster lengkap dengan tepuk tangan pejabat, jargon pembangunan, dan slide presentasi yang warnanya lebih cerah dari masa depan proyek-proyeknya.

Sayangnya, setelah tepuk tangan mereda, rakyat hanya menerima satu hal, kekecewaan yang semakin tahun semakin terlatih.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Karena jujur saja: APBD Kepri sekarang bukan lagi instrumen pembangunan. Ia telah menjelma menjadi mesin penghabis kertas, waktu, dan kepercayaan publik.

1. Kepri Juara Dunia dalam Menganggarkan, Bukan Membangun

Jika membuat anggaran adalah cabang olahraga, Kepri mungkin sudah masuk Olimpiade.
Menyusun program? Hebat.
Membuat daftar kegiatan? Ulung.
Merangkai jargon? Juaranya.

Tapi ketika rakyat bertanya, “Mana hasilnya?”
Yang muncul hanyalah hening yang diselipi alasan klasik khas birokrasi: proses, mekanisme, keterbatasan, tender gagal, cuaca tak mendukung, dan seterusnya.

BACA JUGA :  Kepemimpinan: Islam dan Teori Modern

APBD Kepri ibarat atlet yang gagah saat pemanasan, tapi tumbang sebelum pertandingan dimulai.

2. Belanja Rutin: Monster Rakus yang Mengunyah Masa Depan Rakyat

Belanja pegawai dan operasional Pemprov Kepri adalah seperti monster yang tidak mengenal kenyang.
Yang selalu kenyang justru:

  • perjalanan dinas yang jaraknya kadang lebih jauh dari hasil kerjanya,
  • rapat yang jumlahnya mengalahkan jumlah proyek,
  • seminar dengan kopi yang cepat dingin tapi anggarannya panas,
  • honor kegiatan yang entah kegiatannya di mana.

Sementara belanja modal yang seharusnya membangun jalan, puskesmas, fasilitas nelayan, dan penguat UMKM lebih sering masuk kategori “hiasan laporan”. Seolah-olah pemerintah lebih takut membangun jalan daripada mendapat kritik dari warga.

3. Program Copy–Paste: Tradisi Suci Yang Diturunkan Lintas Generasi

Setiap tahun, programnya itu-itu saja.
Berubah hanya:

BACA JUGA :  Polisi Mulai Proses Laporan Dugaan Malapraktek di RSUP RAT Tanjungpinang
  • tanggal,
  • judul kegiatan,
  • nama pejabat di baliho.

Isinya tetap copy-paste berjamaah.
Kalau kreativitas itu pelajaran sekolah, APBD Kepri mungkin sudah berkali-kali turun kelas sambil bawa surat peringatan orang tua.

4. SILPA: Kuburan Anggaran yang Dipuji Seperti Prestasi

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) di Kepri kadang dibanggakan, padahal itu bukti:

  • pemerintah tidak cekatan,
  • tidak siap bekerja,
  • tidak mampu mengeksekusi programnya sendiri.

Uang rakyat ditidurkan, bukan digerakkan.
Didinginkan, bukan digunakan.

Jika ini disebut efisiensi, maka tidur siang adalah produktivitas dan tidak bekerja adalah prestasi.

5. Efisiensi Tak Terasa adalah Ilusi Administratif

APBD itu efisien bukan ketika auditor tersenyum, tapi ketika rakyat merasakan manfaatnya.

Apa gunanya laporan keuangan berformat rapi jika:

  • jalan tetap berlubang,
  • layanan publik masih lemot seperti modem 90-an,
  • ekonomi rakyat masih ngos-ngosan,
  • dan harga kebutuhan makin naik seperti ambisi pejabat naik pangkat?
BACA JUGA :  Jumat Keramat, Mantan Pj Wali Kota Tanjungpinang Akhirnya Dijebloskan ke Penjara

Efisiensi tanpa dampak itu cuma pameran Excel yang tidak menyentuh realita.

6. Kesimpulan: APBD Kepri Harus Direbut Kembali dari Kebiasaan Lama

APBD Kepri membutuhkan:

  • keberanian memotong anggaran seremonial,
  • ketegasan menghapus program yang tak produktif,
  • keberpihakan nyata pada belanja modal,
  • dan mental bekerja, bukan mental beralasan.

Jika tidak, APBD Kepri akan terus menjadi:

  • anggaran besar untuk hasil kecil,
  • drama tahunan tanpa episode baru,
  • janji yang diulang, bukan dijalankan,
  • dokumen sakral yang dihormati tapi tidak bekerja.

Kepri tidak butuh APBD yang dibacakan dengan wibawa.
Kepri butuh APBD yang bekerja sampai rakyat merasakannya tanpa harus membaca satu lembar laporan pun.

Sutan Albert – Aktivis Demokrat Gembel
(Catatan: gelar boleh sederhana, tapi kritiknya tidak pernah sederhana.)***