JAKARTA — Dunia tekstil Indonesia kini bukan lagi sekadar soal kain dan benang, tapi juga soal kesabaran terutama bagi para pelaku industri yang harus bersaing melawan produk impor ilegal yang jumlahnya seperti benang kusut: banyak, rumit, dan bikin kepala pusing.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) resmi menyurati Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk membahas langkah penyelamatan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Bukan karena drama, tapi karena realita: industri tekstil sedang megap-megap.
Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta menyebut, langkah Purbaya yang mulai menyoroti praktik kuota impor ilegal adalah “secercah cahaya di ujung pabrik yang hampir padam.”
“Hubungan sinergi dan harmoni antara pemerintah dan pelaku usaha perlu terus dilanjutkan,” kata Redma, yang tampaknya berusaha tetap sopan di tengah frustrasi.
Menurut APSyFI, rantai pasok dari hulu ke hilir sudah seperti benang ruwet di tangan penjahit amatir. Produk impor ilegal masuk tanpa izin, data perdagangan tak nyambung antara Indonesia dan negara mitra, dan sistem Bea Cukai tampak seperti jaring yang bolong tapi dibilang masih kuat.
“Banyak barang impor yang masuk tanpa tercatat. Negara rugi, industri babak belur, tapi pelakunya masih bisa tersenyum di pelabuhan,” sindir Redma.
Salah satu biang kerok, kata APSyFI, adalah tidak digunakannya sistem port-to-port manifest. Artinya, importir bisa membuat dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) tanpa mengacu ke Master Bill of Lading.
“Ini seperti izin nikah tanpa KTP. Bisa, tapi pasti ada yang disembunyikan,” ujar Redma sebagaimana dikutip Senin 13 Oktober 2025.
Akibatnya, praktik misdeclare, under invoicing, dan pelarian HS code (alias manipulasi klasifikasi barang) subur berkembang. Dan lucunya, semua pihak tahu tapi pura-pura sibuk memeriksa berkas.
Ditambah lagi, sistem pengawasan dengan AI Scanner yang mestinya canggih, tapi entah kenapa “AI”-nya lebih sering berarti “Akan Investigasi” daripada “Artificial Intelligence.”
APSyFI berharap pemerintah, terutama Ditjen Bea Cukai dan Kemenkeu, duduk bareng Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) untuk membahas kondisi nyata di lapangan. Sebab, kalau dibiarkan, industri TPT bukan hanya kalah bersaing, tapi bisa jadi tinggal cerita nostalgia seperti mesin jahit tua di rumah nenek.
“Penyelamatan industri tekstil bukan hanya soal pabrik, tetapi juga jutaan tenaga kerja dan ekonomi daerah,” tegas Redma.
Ia menegaskan, tanpa langkah konkret, kita bukan sedang membangun daya saing tapi mempersiapkan karangan bunga bertuliskan ‘Turut Berduka Cita atas Matinya Industri Tekstil Nasional’.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa masih berusaha menenangkan publik dengan menyatakan bahwa utang pemerintah Rp9.138 triliun “masih aman.”
“Utang sekitar Rp900 triliun itu masih 39 persen dari PDB. Dari standar internasional masih aman,” ujar Purbaya, santai seperti orang baru selesai bayar cicilan motor.
“Kalau saya punya penghasilan Rp1 juta dan utang Rp1 juta, itu berat. Tapi kalau penghasilan Pak Sekjen Rp100 juta dan utangnya Rp1 juta, itu ringan,”tambahnya memberikan perumpamaan.
Analogi ini tentu saja menenangkan asalkan Anda termasuk kategori “Pak Sekjen”, bukan “rakyat biasa yang utangnya lebih cepat naik dari gaji.”
Purbaya juga membandingkan Indonesia dengan negara lain: Jerman 100 persen, AS di atas 100 persen, Jepang 250 persen. Dengan gaya khas pejabat, ia menegaskan:
“Dari standar itu kita aman.”
Ya, walau kalau dipikir-pikir, membandingkan Indonesia dengan Jepang mungkin seperti membandingkan kain belacu dengan sutra sama-sama kain, tapi beda kelas dan harga.
Pemerintah boleh bicara “utang aman” dan “impor terkendali”, tapi di lapangan, pabrik tekstil menjerit karena kalah bersaing dengan harga dumping.
Selagi negara lain menyiapkan trade barrier, kita malah sibuk menjahit lobang di kebijakan pakai benang bekas subsidi.***