Manajer Prancis, Didier Deschamps, tampak tegang. Namun, kompetensinya sebagai pimpinan tim mampu membalikkan situasi. Prancis menyamai kedudukan 2-2 di babak kedua.
Deschamps membangkitkan semangat juang dan mengeluarkan instruksi yang tepat dan berbasis analisis. Ini diikuti oleh kemampuan timnya untuk menerjemahkan instruksi-instruksi menjadi cara bertahan dan cara menyerang yang efektif.
BACA JUGA: Format Baru Piala Dunia Antarklub 2025 Diikuti 32 Tim
Deschamps adalah manajer yang tahu mengatasi krisis. Ini semua logis. Sebab dia adalah pemimpin yang memiliki literasi komprehensif tentang sepakbola. Dia adalah sepakbola itu sendiri. Deschamps menjadi kapten tim nasional Prancis sebelum pensiun dan menjadi pelatih.
Dia tidak gamang. Ibarat Jokowi, Deschasmp tidak perlu bantuan Luhut Binsar Panjaitan–kalau LBP dimisalkan sebagai asisten pelatih-untuk mengatasi krisis skor malam tadi. Bagi Deschamps, posisi “Luhut Panjaitan” sebagai pembantu hanya sekadar melengkapi keharusan untuk mengisi struktur manajemen tim nasional Prancis.
Laga final 120 menit berakhir 2-2. Dilanjutkan dengan ‘extra time’ (tambahan waktu) 2×15 menit untuk memutuskan pemenang. Tapi, karena kedua tim hebat ini memang handal dan ‘bandal’, waktu tambahan tidak dianggap formalitas menuju adu penalti (penalty shootout) untuk memutuskan pemenang.
BACA JUGA: Berkat Messi, Argentina Mampu Bertahan di Piala Dunia 2022
Keduanya bermain serius. Karena mentalitas mereka memang ditempa untuk selalu serius. Mereka tidak santai dengan harapan adu penalti akan menghasilkan kemenangan. Pada menit ke-108, Argentina membukukan satu gol dari kaki Lionel Messi. Mengubah skor menjadi 3-2.
Messi menunjukkan kualitasnya. Malam tadi tampaklah bahwa dia bukan “Menko” sembarangan di kabinet Argentina. Dia bukan seorang “omong-kosonger” seperti Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menggonggongkan tiga periode atau tambahan waktu 2-3 tahun bagi Jokowi. Messi tidak mau dan tak pernah ngawur dalam mengemban amanah.