Scroll untuk baca artikel
Budaya

Asyura di Indonesia: Antara Tradisi Sunni, Syiah, dan Budaya Lokal

×

Asyura di Indonesia: Antara Tradisi Sunni, Syiah, dan Budaya Lokal

Sebarkan artikel ini
Doa bersama di Desa Sidoasri, dalam rangka menyambut 1 Muharam 1441 H,

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Beberapa aktivis beraliran Wahabi kerap menuding bahwa tradisi Asyura (10 Muharram) yang hidup di tengah masyarakat Indonesia sebagai bentuk praktik Syiah.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Namun, realita menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah Sunni, dan peringatan Asyura dilakukan dalam konteks budaya dan ibadah sunah, bukan doktrin Syiah.

Di bulan Muharram, umat Islam Indonesia menghidupkan berbagai kegiatan religius dan budaya:

Praktik Umum:

  • Puasa Tasu’a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram).
  • Doa akhir dan awal tahun Hijriah.
  • Dzikir bersama, pengajian, tahlilan, dan sholawatan.
  • Santunan Anak Yatim, sering disebut sebagai Hari Raya Anak Yatim.

Tradisi Budaya di Berbagai Daerah:
Daerah Tradisi

Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, NTB Bubur Asyura sebagai simbol syukur dan kebersamaan. Minangkabau (Sumbar) Bubur Asyura dimasak di masjid, dibagikan ke warga.

BACA JUGA :  Melestarikan Tradisi Melalui Festival Adu Bedug dan Dondang Mustika

Bugis/Makassar Bubur dari beras, kelapa, kacang-kacangan, dan sayur.
Jawa Tengah, Timur, Yogyakarta Suroan, tirakat, ruwatan, larungan laut, tumpengan.

Kraton Solo Topo bisu ritual jalan kaki keliling benteng kraton dalam diam. Bengkulu dan Pariaman Tradisi Tabut/Tabuik mengenang Imam Husain.
Pantai Selatan Jawa Larungan Laut, tolak bala dan persembahan adat.

Tradisi tersebut merupakan asimilasi antara ajaran Islam dan budaya lokal, tidak dapat digeneralisasi sebagai praktik Syiah.

“Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka Nabi bersabda: ‘Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian’ lalu beliau berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa.” (HR. Bukhari 2004, Muslim 1130)

“Puasa pada hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar dapat menghapus dosa-dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim 1162)

BACA JUGA :  Mekhaggoh, Tradisi Lampung Pesisir yang Bergeser oleh Zaman

“Jika aku masih hidup tahun depan, aku akan berpuasa juga pada tanggal 9.”
(HR. Muslim 1134)

Puasa Tasu’a dan Asyura disyariatkan. Sedangkan tradisi seperti bubur Asyura, santunan, hingga pawai adalah ekspresi budaya, bukan ritual wajib.

Aspek Sunni – Syiah

  • Makna Asyura Hari kemenangan Nabi Musa & Bani Israil dari Firaun. – Hari duka wafatnya Imam Husain bin Ali di Karbala.
  • Ibadah Utama Puasa Tasu’a & Asyura, dzikir, santunan yatim.
  • Peringatan duka (Ma’tam), ratapan, puisi duka, ziarah ke Karbala.
  • Sikap terhadap Husain Memuliakan, mendoakan, tanpa ratapan berlebihan. – Menganggapnya syahid agung dan simbol perlawanan.
  • Sikap terhadap Sahabat Menghormati seluruh sahabat Nabi.

Beberapa Syiah mengecam sebagian sahabat.

Aktivitas Unik Tidak ada ritual menyakiti diri. Zanjir Zani, prosesi berdarah (pada beberapa sekte Syiah).

BACA JUGA :  Situs Megalitik Batu Brak Ditetapkan Sebagai Titik Awal Peradaban Tertua Lampung

Tradisi Suroan dan Asyura di Indonesia mayoritas dilakukan oleh umat Islam Sunni, dengan nuansa kebudayaan lokal yang positif dan moderat.

Kegiatan-kegiatan seperti membuat bubur, doa bersama, dan santunan yatim adalah ekspresi spiritual yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Asyura dalam Islam Sunni adalah momentum untuk beribadah, meneladani Nabi Musa, serta mengenang perjuangan Sayyidina Husain dengan cara yang bermartabat, bukan ratapan emosional.

Perbedaan dengan Syiah bukan soal bubur atau pawai, tapi pada teologi, sikap terhadap sahabat, dan bentuk ekspresi duka.

“Jangan berlebihan mencintai siapa pun sebagaimana kaum Nasrani berlebihan terhadap Isa.” Makna Hadis Riwayat Ahmad.

Jika Anda ingin versi ini dijadikan artikel media, slide edukasi, atau infografik, saya siap bantu lanjutkan.***