Scroll untuk baca artikel
Info Wawai

Karbala, Luka Abadi Umat Islam: Drama Syahidnya Cucu Rasulullah SAW yang Mengguncang Sejarah

×

Karbala, Luka Abadi Umat Islam: Drama Syahidnya Cucu Rasulullah SAW yang Mengguncang Sejarah

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi
Ilustrasi

WAWAINEWS.ID – “Dunia tidak berubah oleh kekuasaan, tapi oleh darah para syuhada yang menolak tunduk kepada kezaliman.” Sepenggal hikmah dari cerita Karbala.

Bulan Muharram kembali menyapa umat Islam. Bagi sebagian besar muslim, ini adalah momentum hijrah perpindahan menuju kebaikan. Namun, di balik kesyahduan awal tahun Hijriah, tersimpan luka sejarah paling memilukan dalam jagat Islam. Sebuah tragedi yang tak hanya mengoyak tubuh, tetapi juga mengguncang jiwa umat hingga hari ini.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Peristiwa itu bernama Tragedi Karbala. Di sanalah, pada 10 Muharram 61 Hijriah, Sayyidina Husain bin Ali, cucu tercinta Rasulullah SAW, wafat dalam keadaan tragis syahid, haus, dan dikepung ribuan pasukan penguasa yang mengatasnamakan kekhalifahan.

Husain: Cucu Nabi, Pewaris Prinsip
Sayyidina Husain bukan sekadar cucu Rasulullah SAW. Ia adalah simbol dari kebenaran yang tak bisa dibeli. Putra dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra ini tumbuh dalam pelukan wahyu. Ia menyerap akhlak kenabian, menyaksikan kebenaran dengan matanya sendiri, dan hidup dalam cahaya iman yang tak terputus.

BACA JUGA :  HUT Lampura, Diwarnai Aksi Aktivis Muhammadiyah Tuntut Forkopimda Cabut SKB Angkutan Batu Bara

Namun, sejarah menuliskan takdir yang getir.

Setelah wafatnya Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan, tampuk kekuasaan diwariskan kepada putranya, Yazid bin Muawiyah. Penunjukan ini mencederai semangat syura (musyawarah) dalam Islam. Yazid dikenal luas sebagai pemimpin zalim, lalai dalam ibadah, dan haus kekuasaan.

Sayyidina Husain menolak membaiat Yazid. Bukan karena ambisi politik. Tetapi karena nuraninya tak sanggup menggadaikan prinsip untuk menghalalkan kekuasaan tirani. Penolakannya bukan perlawanan bersenjata, tapi suara nurani yang tak bisa ditawar.

Surat-Surat dari Kufah: Janji yang Berkhianat
Dari Kufah, ratusan surat datang. Umat mengiba agar Husain datang dan memimpin mereka. Mereka berjanji, jika beliau tiba, ribuan orang akan menyambutnya sebagai pemimpin sejati. Janji yang membuat Husain mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk memastikan situasi.

Namun situasi berubah drastis. Gubernur Kufah yang kejam, Ubaidillah bin Ziyad, menebar teror dan membunuh Muslim bin Aqil secara keji. Ketika kabar itu sampai kepada Husain, ia telah berada di tengah perjalanan. Mundur adalah bentuk ketakutan, dan itu bukan bagian dari jiwanya.

Padang Pasir, Padang Derita
Tanggal 2 Muharram 61 H, Husain dan rombongannya tiba di Karbala. Mereka disergap oleh ribuan pasukan pimpinan Umar bin Sa’ad. Dalam cuaca yang terik, akses ke Sungai Eufrat diputus. Keluarga dan pengikut Husain termasuk anak-anak mulai kehausan. Tapi tidak ada belas kasih dari pasukan Yazid.

BACA JUGA :  Suami-suami dianjurkan meremas Payudara Istri saat bersebadan, ini alasannya

Di tengah malam-malam penuh doa dan tangis, Husain memberi waktu bagi sahabatnya untuk meninggalkannya jika mereka takut. Tapi tak satu pun berpaling. Mereka memilih mati bersama kebenaran.

10 Muharram: Tumpahnya Darah Kebenaran
Hari Asyura datang. Langit Karbala menjadi saksi bisu ketika satu per satu keluarga Husain gugur. Ali Akbar, putra Husain yang gagah, meregang nyawa.

Qasim bin Hasan, keponakannya, gugur setelah bertempur gagah berani. Abbas bin Ali, saudaranya, syahid saat mencoba mengambil air untuk anak-anak.

Akhirnya, Husain berdiri sendiri. Tubuhnya dilumuri darah, kakinya gemetar, tapi suaranya tetap lantang: “Jika agama Muhammad harus tegak dengan darahku, maka ambillah darah ini!”

Ibnu Katsir meriwayatkan, sebuah panah menancap di lehernya. Ia tetap berdiri, mencoba menuju sungai, tapi dicegat. Akhirnya, ia ditombak oleh Sina bin Anas, lalu digorok. Kepalanya dipisahkan dan dibawa ke Damaskus sebagai trofi politik.

Air Mata yang Tak Pernah Kering
Kematian Husain bukan sekadar tragedi keluarga. Itu adalah simbol perlawanan terhadap kezaliman. Tragedi Karbala mengajarkan bahwa kebenaran kadang harus ditebus dengan nyawa. Ia menjadi mercusuar bagi setiap gerakan moral sepanjang sejarah.

BACA JUGA :  Sambut HUT ke-36, IKABOGA Selenggarakan Talkshow, Lomba, Bazar hingga Fun Walk

“Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tempat adalah Karbala,” kata para ulama.

Hingga hari ini, jutaan umat Islam memperingati hari itu. Di Karbala, peziarah datang menitikkan air mata. Di Indonesia, umat berzikir dan mengenang perjuangan sang cucu Nabi.

Muharram dan Spirit Hijrah Moral
Hijrah bukan sekadar berpindah tempat. Tapi berpindah dari gelap menuju terang. Dari kebungkaman menuju keberanian. Dari takut kepada penguasa, menuju takut kepada Allah semata.

Sayyidina Husain telah menunjukkan jalan hijrah moral yang sejati. Jalan yang sulit, penuh luka, tapi menggetarkan langit dan bumi.

“Orang yang diam terhadap kezaliman, adalah bagian dari kezaliman itu sendiri.” Sayyidina Husain

Karbala adalah kisah pilu. Tapi juga kisah cahaya. Cahaya yang tak padam meski tubuh telah tumbang. Dan selama kebenaran masih ditegakkan, selama kezaliman masih dilawan, maka ruh Husain akan terus hidup dalam hati setiap muslim sejati.***