WAWAINEWS.ID – Fondasi pendidikan karakter di desa Gunung Sugih Besar, tergerus bersamaan lapuknya bangunan Madrasah tanpa plang nama diujung perkampungan tua di Lampung Timur itu. Kini bangunan tersebut terancam roboh oleh usia, tak ada yang peduli, termasuk desa?
Bangunan tiga lokal masih dalam satu areal sekolah dasar desa Gunung Sugih Besar (GSB) tersebut teronggok begitu saja, lapuk, dan berubah menyeramkan. Generasi 70-an hingga tahun 2000 mengenal bangunan itu sebagai tempat pendidikan karakter berbasis agama islam dengan sebutan singkat sekolah madrasah.
Fondasi yang telah ditancapkan oleh pendahulu para tokoh yang peduli pendidikan di GSB itu, sekarang terbengkalai tanpa ada mereka yang peduli, terutama dari desa. Berbagai upaya dilakukan untuk kembali menghidupkan sekolah madrasah tersebut oleh pemuda dan mereka yang peduli, tapi sepertinya terbentur oleh biaya.
Diketahui bahwa beberapa tahun lalu, para pegiat pendidikan agama Islam di Kampung GSB itu mencoba untuk menghidupkan kembali sekolah madrasah tersebut dengan membentuk Yayasan sendiri. Tapi sepertinya tidak mendapat dukungan terutama dari desa, tidak mampu menggerakkan agar sekolah yang telah banyak berjasa memberikan pendidikan karakter generasi era 80 hingga 90-an bisa kembali eksis.
“Desa ini berjalan sendiri-sendiri, tidak ada kreativitas dari pemimpinnya dalam menggerakkan untuk memajukan desa. Memang pemimpin itu harus mereka yang kreatif, mampu menggerakkan warga, dan memiliki jaringan, kita kehilangan sosok pemimpin seperti era sebelum tahun 2000-an,”celetuk Tokoh Pemuda Desa GSB menanggapi terbengkalainya sekolah madrasah di kampungnya.
Menurutnya saat ini, tidak bisa diharapkan menunggu desa untuk menghidupkan kembali sekolah madrasah tersebut. Balaidesa dirapihkan hingga mentereng, ada gapura di tikungan jalan dibangun dengan dana desa hingga puluhan juta, tapi tidak jauh dari kantor desa, ada sekolah madrasah yang lapuk, tidak terurus dan tinggal menunggu waktu untuk ambrol.
Membangun sekolah madrasah sebagai pusat pendidikan karakter sepertinya tidak menarik dari sisi politik desa, karena tidak terlihat langsung hasilnya. Apa lagi mendapat pujian sukses seorang pemimpin seperti membangun infrastruktur, padahal membangun pendidikan akan dirasakan 10 tahun kemudian.
Ia pun mengutip pernyataan Menteri Agama Nasaruddin yang menyebutkan di depan sekolah madrasah ada sekolah negeri yang tanahnya dibelikan negara, bangunannya dibangun oleh negara, gurunya diangkat oleh negara, bahkan cleaning service-nya pun digaji oleh negara.
Begitu lah realitas sekolah madrasah dan itu ada di Desa GSB, ada madrasah satu areal dengan Sekolah Dasar, dulu gurunya mengajar dengan gaji tidak jelas per bulan, sementara guru di sekolah negeri bisa memiliki gaji tetap yang lumayan.
“Sekarang madrasah diujung kampung kami, tutup permanen tidak ada riuh hapalan hadist, tidak ada lagi pendidik akidah akhlak, fiqih dan lainnya seperti zaman dulu,”ujarnya mengenang saat masih sekolah madrasah.
Dulu setiap pulang sekolah umum SD, ada ratusan anak mulai bersiap untuk berangkat ke sekolah Madrasah. Ia mengistilah Boarding School seperti trend masyarakat perkotaan sekarang ternyata sudah hadir sejak dulu di Desa GSB, anak sekolah dasar hanya pulang ke rumah makan siang kemudian kembali lagi berisap ke sekolah madrasah dan pulang ba’da Ashar.
“Apa yang bisa diharap, desa mempertahankan kondisi yang ada saja, tidak mampu, apa lagi berharap untuk menghidupkan lagi sekolah madrasah yang bangunan mulai rapuh, terbengkalai sudah bertahun-tahun,”ucapnya mengingatkan bahwa Madrasah memiliki peran tersendiri lebih dari sekolah umum untuk mencerdaskan generasi bangsa berkarakter.
Dia berharap ada pihak yang peduli, terutama dari warga desa GSB untuk bersama memikirkan dan bergotong-royong menghidupkan kembali sekolah madrasah di kampungnya.***