KOTA BEKASI — Anggaran belanja pompa distribusi senilai sekitar Rp400 juta di Perumda Tirta Bhagasasi Cabang Pondok Ungu, tahun anggaran 2023, mendadak berubah dari proyek pengadaan menjadi cerita klasik “barang ada di atas kertas, hilang di lapangan”.
Dana ratusan juta rupiah itu diduga direalisasikan secara fiktif dengan modus kanibalisasi mempreteli suku cadang bekas dari cabang lain, lalu disusun ulang seolah-olah sebagai mesin baru.
Hasil penelusuran lapangan menunjukkan fakta yang cukup ironis tak satu pun unit pompa baru tampak terpasang sebagaimana lazimnya proyek bernilai ratusan juta rupiah. Alih-alih mesin baru berkilau, yang ditemukan justru rangkaian peralatan lama hasil tambal-sulam dari berbagai cabang PDAM lain. Jika benar, maka yang “baru” hanyalah nomenklatur anggarannya, bukan barangnya.
Sorotan tajam mengarah kepada JS, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Unit Rawalumbu. Nama Joni bukan figur sembarangan, mengingat ia sebelumnya menduduki posisi strategis sebagai Kepala Bagian Keuangan Perumda Tirta Bhagasasi pada masa Direktur Utama Usep Rahman Salim jabatan yang tentu paham betul seluk-beluk keluar-masuk anggaran.
Namun saat dikonfirmasi, JS justru tampil bak pompa yang kehilangan tekanan. Ia kerap tidak berada di kantor, dan pesan konfirmasi yang dikirimkan melalui WhatsApp pun berakhir tanpa balasan hingga berita ini diturunkan. Sunyi, padahal anggaran yang dipertanyakan cukup berisik nilainya.
Aktivis Lembaga Pemberantasan Korupsi (LPK), Yusuf, menilai kasus ini bukan sekadar kesalahan administrasi, melainkan indikasi kuat tindak pidana korupsi yang harus segera diusut.
“Ini bukan soal baut kurang kencang atau laporan terlambat. Ini dugaan belanja fiktif dengan modus kanibalisasi aset. Kalau benar, artinya negara membayar mesin baru, tapi yang bekerja mesin bekas. Aparat penegak hukum jangan pura-pura tuli,” tegas Yusuf.
Ia mendesak Kejaksaan dan Kepolisian segera memanggil dan memeriksa Joni Setiawan serta pihak-pihak manajemen PDAM Tirta Bhagasasi yang terlibat dalam pengambilan keputusan anggaran tersebut.
Lebih lanjut, Yusuf menegaskan bahwa transparansi belanja di tubuh BUMD bukan pilihan, melainkan kewajiban. Terlebih, dana yang digunakan berasal dari penyertaan modal daerah dan langsung berdampak pada pelayanan air bersih masyarakat.
“Kalau pompa saja bisa ‘disulap’, publik berhak curiga apa lagi yang ikut disamarkan. Kasus ini harus menjadi pintu masuk audit menyeluruh belanja modal Tirta Bhagasasi,” pungkasnya.
Kini publik menunggu, apakah aparat penegak hukum akan segera menekan tombol penyelidikan, atau justru ikut membiarkan pompa anggaran ini terus berputar tanpa air kejelasan.***













