Kalau sudah begini dan kejadiannya seperti itu, rakyat negara dan bangsa Indonesia mau apa lagi dan bisa bikin apalagi?.
Kemana perginya cita-cita proklamasi yang didengungkan para pendiri bangsa tentang kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas?.
Lalu bagaimana dengan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang dijamin konstitusi?.
Kemudian bagaimana juga dengan persatuan dan kesatuan bangsa, tentang gotong-royong, dan soal-soal keadilan yang ada pada manisnya slogan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI?.
Kemana semua narasi dan jargon-jargon nasionalisme serta patriotisme yang begitu memesona dan menggugah?. Di mana letak tersembunyi kemanusiaan dan Ketuhanan di negeri yang katanya religius?. Tampaknya, bangsa ini tak bisa lagi berhubungan mesra dengan Tuhan Yang Maha Esa, karena begitu intim dan dalamnya merasakan kehangatan dan kenkimatan liberalisasi dan sekulerisasi.
Begitupun juga kultur dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, yang telah lama tenggelam, terseret arus deras degradasi dan disintegrasi sosial.
Rakyat begitu mengabaikan nilai-nilai ideal dan terasa nyaman menikmati yang tidak ideal. Mungkin individualitas dan egosentris yang telah berkembangbiak lebih subur dalam negara yang masyarakatnya sarat spiritualitas. Boleh jadi yang perlu diprioritaskan selama ini berupa ‘terserah gue dan yang penting gue selamat’, telah menjadi nilai-nilai massal dalam masyarakat Indonesia.
Hidup berkumpul dalam komuitas besar republik, namun mengambil lakon hidup masing-masing tanpa keharmonisan dan keselarasan.
Terlanjur sayang dan larut dalam mabuknya suasana bersatu kita runtuh bercerai kita teguh. Seakan membawa kenangan polemik klasik saat awal kelahirannya, Republik Indonesia lebih tepat sebagai negara kesatuan atau negara federalis?.***