Saya pun diminta mencari Panda Nababan dan Wina Armada, keduanya wartawan senior. Keduanya kebetulan saya kenal saat kami bekerja bersama di Majalah Forum Keadilan, tepat 30 tahun lalu. Panda pemimpin umum, Wina wakil pemimpin redaksi.
Kebetulan pula buku terbaru Panda, Lahir Sebagai Petarung, dalam dua jilid yang tebal, memang bestseller, saya sedang menunggu edisi ketiganya datang. Saat BEW berpulang, jilid pertama buku Panda baru separo kubaca.
BACA JUGA: Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)
Beliau berdua bos saya, Pak. Setelah itu, sampai sekarang, bos saya kan Pak Bambang… Senyumnya mengembang. Perilaku dan tuturku kepada BEW memang 100% begitu. Lepas, tanpa barrier. Beliau menganggap saya anaknya, dan BEW memang terasa ayahku “betulan”. Berapa kali saya mau dipecat, tapi BEW yang pasang badan.
Kami sangat sering berbagi cerita lucu, sebagian malah ditulis dalam Buras, kolom tetap BEW di Lampung Post, yang mungkin sudah di atas 10 ribu tulisan. Jelas rekor dunia. Besuk saat itu pun saya tak mau anggap mendatangi rumah sakit. Meskipun beliau sakit agak serius, saya tak lalu memelankan suara, men-takzim-takzimkan sikap. No. Saya tetap anggap beliau sesehat dulu, sebugar dulu, dengan pikiran dan daya ingat ensiklopedik. Dan memang iya. Secara pikiran, BEW tak beda dengan belasan bahkan 20 an tahun lalu. Pikirannya tetap tangkas, daya ingat kuat, dan artikulasinya ya Allah betul-betul bukan seperti pasien penyakit seberat itu.
Kuceritakanlah keajaiban machine learning berbasis kecerdasan artifisial seperti Chat GPT. Bapak bisa perintahkan, dengan tulisan atau suara, bagaimana sebuah cerita pendek yang zaman dulu Bapak tulis, disusun ulang ala Hemingway kek, atau Karl May, atau gaya Motinggo Busye.
BACA JUGA: Anies Didukung Rakyat, Anies Dibendung Aparat
Bisa juga dibuat scarry seperti novel Abdullah Harahap, maupun dibuat surealistis seperti cerpen Danarto. Atau kasih perintah yang lebih medheni, Pak, suruh buat robot forex trading, atau saham. Apa pun. “Gaya tulisan saya apa masuk rekaman mesin itu, Her?” Ya pastilah, Pak. Saya yang ecek-ecek gini saja dikenali mesin pencari hahaha. Bapak mau Buras kusuruh ubah jadi style Art Buchwald? Cuma 1-2 menit tok prosesnya. Tambah kagum beliau. Dua tahun sakit seolah menjadikannya tak lagi up date dengan zaman.
Saya terus “menjual” kehebatan era data saat ini, dengan era internet of thing. Era saat data lebih berharga dibanding emas dan minyak. Mata beliau berbinar-binar. Daya hidupnya tampak menyala kembali. BEW terus menyimak. Bagaimana Kompas saya langgani cuma 100 ribu rupiah setahun, beritanya bisa juga dibacakan robot readernya.
Makanya cepat sehat dong, Pak. Nanti kita makan Sate Ompong lagi saban sore kayak dulu, atau menyiram nasi dengan kuah banyak di Begadang atau Puti Minang. Telinga Bapak kan panjang, kuping Budha itu, Pak. “Apa artinya, Her?” Ya Bapak ini bakal panjang umur. Sakit ini mah shelter sebentar aja. Usai ini ya Bapak sehat lagi kayak dulu. Oke ya Pak saya lanjut merekam.
BACA JUGA: Anies Urung Hadiri Muktamar Al-Isryad di Purwokerto. Kenapa?
Pak Bambang kemudian menceritakan tapak kariernya dulu di Medan. Dari awal sekali. Jika saya timpali humor, wajahnya bungah, ketawanya sesekali lebar, nyaris tampak seluruh giginya. Saat redaksi Lampung Post menjenguk, saya sok tuan-rumahi. Kuabsen satu-satu sambil kuselingi jokes kesukaan beliau.
BEW lahir di Pondok Seng, Kerasaan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara 6 Oktober 1946. Setamat SMA, Bambang diterima belajar kerja di Waspada Teruna Group ( Sketsa dan Warta Teruna) sebagai korektor, merangkap reporter, plus merangkap jual koran mingguannya setiap terbit. Awalnya BEW dibimbing menulis oleh Nazar Effendy Erde, pemimpin redaksinya.