Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAI NEWS – Menyoal kedaulatan pangan, pakar di bidangnya tentu lebih fasih. Lebih kompeten. Kita mencermati yang kasat mata saja. Yang common sense.
Bersumber pada ladang pangan yang terhampar dan kita saksikan keseharian di sekitar. Khususnya di pulau Jawa.
Ada lahan sawah. Dibedakan menjadi sawah irigasi teknis. Bisa tanam padi sepanjang tahun. Ada sawah tadah hujan. Tanam padi pada musim penghujan. Pada musim kemarau ditanami palawija. Hortikultura. Tanaman semusim.
Ada ladang. Biasanya terletak di daerah agak atas mendekati bukit. Bahkan berbatasan dengan perbukitan wilayah hutan. Berada pada kontur kemiringan. Sering ditanami hortikultura.
Bisa juga tanaman non lahan basah usia pendek. Sepert kacang tanah dan jagung. Ditanami pula sumber pangan usia panjang. Seperti ketela pohon, Uwi, Gembili, Ganyong, Garut dan sejenisnya.
Terkadang ditanam padi non lahan basah. Seperti padi “gaga” (gogo). Varietas padi usia panjang. Wilayah ini disela tanaman-tanaman keras usia panjang untuk menjaga ekologi. Agar tanah tidak longsor.
Ada juga wilayah perhutanan sosial. Sebagai economic buffer zone. Zona penyangga ekonomi pinggiran hutan. Kebutuhan ekonomi masyarakat tidak bisa lepas dari hutan. Perilaku konvensionalnya adalah membabat hutan untuk dijual. Berakibat rusaknya kualitas ekologi. Banyak kasus tanah longsor.
Untuk menyeimbangkan ketahahan ekologi dan kebutuhan ekonomi itu dibuatlah “perhutanan sosial”. Lahan pinggir hutan diberikan kepada masyarakat sekitar hutan dalam bentuk hak kelola. Masyarakat bisa menanami wilayah itu untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Konsekuensinya masyarakat menjaga kualitas ekologi sesuai persyaratan. Seperti menjaga zona pinggir sungai dan mata air dengan tanaman-tanaman keras penyangga ekologi. Menjaga tanaman keras penyangga ekologi di sela-sela tanaman produktif.
Di luar zona-zona itu, perbukitan-perbukitan di Jawa masih amat luas. Lereng-lereng perbukitan yang berdekatan dengan perkampungan masyarakat. Kondisinya nyaris botak oleh penggundulan. Tanaman-tanaman keras penyangga ekologi tidak banyak dijumpai lagi. Kayu merupakan salah satu kebutuhan papan. Memiliki nilai jual tinggi. Ketika pohon hutan memasuki usia ekonomis, tentu menjadi sasaran masyarakat untuk mengambilnya.
Kita bisa menyaksikan lahan seperti ini di sepanjang wilayah perbukitan Jawa Selatan. Seperti wilayah Trenggalek, Ponorogo, Pacitan dan seterusnya. Zona-zona seperti ini bisa dimanfaatkan sebagai lumbung pangan komunal berbasis ketahanan ekologi.
Apa yang harus dilakukan?.
Pertama, kebijakan. Perlu adanya kebijakan terkait bukit lumbung pangan komunal. Konsepnya adalah zona perbukitan yang diperuntukkan sebagai lahan pangan komunal. Produknya bisa tematik. Misalnya bukit komoditas A, bukit komoditas B, bukit komoditas C, dan seterusnya. Produknya bisa dinikmati oleh siapa saja. Dalam batas untuk dikonsumsi. Komoditas yang ditanam memiliki ketahanan ekologi.
Kedua, pemetaan. Perlu dipetakan potensi perbukitan lumbung pangan. Di sepanjang pulau Jawa. Hutan-hutan yang bukan perhutanan sosial, masih dekat dengan perkampungan masyarakat. Akan tetapi fungsinya sebagai penyangga ekologi tidak optimal. Lahan-lahan seperti ini bisa dijadikan alternatif lumbung pangan komunal berbasis ketahanan ekologi.
Ketiga, pemetaan tanaman pangan penyangga ekologi. Tanaman ini harus memenui dua fungsi. Merupakan pohon penyangga ekologi yang baik sesuai kontur perbukitan. Sekaligus bisa dipetik buahnya untuk dikonsumsi dan bernilai ekonomis. Seperti sukun, bambu (untuk diambil rebung), tanaman keras buah-buahan. Maupun komoditas tanaman pangan lain yang sesuai dengan fungsi ketahanana ekologi.
Keempat, pengorganisasian. Sebagai lumbung pangan komunal, pengorganisasian program ini harus komunal. Misalnya dikelola koperasi desa sekitar perbukitan. Bekerjasama dengan perhutani, instalasi militar setempat, maupun komunitas-komunitas kepemudaan. Seperti Pramuka, karang taruna, maupun organisasi kepemudaan setempat.
Kelima, pembiayaan. Perlu diberikan stimulus pembiayaan secara khusus oleh pemerintah. Sebagai bagian upaya mewujudkan kedaulatan pangan. Khususnya penyediaan pangan alternatif non beras.
Bagaimana dengan dana desa?. Yang Dua puluh persennya untuk ketahanan pangan itu?.
Tentu anggaran itu diperuntukkan bagi para petani. Untuk memberdayakan petani di desa itu. Anggarannya tidak boleh diusik lagi. Seharusnya.
Bukit lumbung pangan komunal merupakan lumbung pangan hidup milik bersama. Juga memilki fungsi pertahanan ekologi. Oleh karenanya perlu kebijakan dan anggaran khusus.
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jakarta, 29-01-2025