Jika menilik tahunnya, mungkin bersamaan pula dengan peresmian pemugaran Kompleks Masjid dan Makam Kyai Hasan Besari.
Pesan whatshap itu saya teruskan kepada sejumlah pengurus Yayasan Damandiri. Yayasan yang didirikan Presiden Soeharto. Pada waktu itu Yayasan diketuai Mantan Menteri Koperasi (alm) Subiyakto Tjakrawerdaja.
Tidak berselang lama, ustadz Edi Sujarwo memberi kabar kedatangan team survei dari Yayasan Damandiri. Desa Badegan hendak dijadikan salah satu program pengembangan Desa Mandiri Lestari (DCML).
Bukit Soeharto yang dikelola Karang Taruna itu diberi dukungan untuk pengembangan.
Pada era itu, Yayasan Damandiri memiliki 14 Desa Binaan. Sebagai target pengembangan Desa mandiri Lestari (DCML) di seluruh Jawa. Ialah desa dengan potensi ekonomi yang tinggi, akan tetapi angka kemiskinan penduduknya masih banyak.
Potensi ekonomi itu didukung pengembangannya dan diberikan pembinaan selama 3 tahun melalui wadah koperasi. Setelah 3 tahun diharapkan menjadi mandiri secara ekonomi.
Parameternya semua penduduk desa tidak ada yang tidak memiliki penghasilan. Besarannya minimal UMR plus 20 persen. Itulah konsepnya.
Bukit itu oleh Yayasan Damandiri dikembangkan sebagai pusat UKM. Tempat bekerja masyarakat desa.
Sepeninggal Pak Subiakto, pengurus Yayasan yang baru, meresmikannya. Sebelum terhenti oleh puncak pandemi covid, tidak kurang 80 UKM berjualan di tempat itu. Entah berapa omset penjualannya. Berapa tenaga kerja yang dilibatkan.
Saya memang belum ke tempat itu. Informasi Bukit Soeharto terus di suplai melalui whatsap sebagaimana pesan Ustadz Edi Sujarwo itu.
“Sudah berkembang Pak. Bapak kalau lihat dulu, anak-anak pengelola itu pakai sandal jepit. Sekarang sudah memakai Sepatu dan baju bagus”, kata Utstadz Edi suatu ketika.
Setelah tanggal 8 Juni 2024, saya baca-baca media online. Ternyata Mbak Titiek juga meresmikan patung di tempat itu. Patung Jenderal Besar Soeharto.
Sudah selang 5 tahun perjumpaan saya dengan Ustadz Edi Sujarwo. Ternyata kisah itu masih bersambung.
Bukan saja memori “hotel mistik” tempat menginap yang tidak dilupakan. Tanpa disengaja, pertemuan itu membawa domino effect. Pengembangan Bukit Soeharto.
Keluarga Cendana melalui Yayasan Damandiri telah memberikan dukungan Bukit Soeharto sebagai pusat ekonomi warga sekitar. Tentu tidak bisa dilupakan spirit kehadiran Presiden Soeharto di bukit itu tahun 1978 yang lampau.
Bukit kecil itu dipilih sebagai tempat untuk meremot agenda pelestarian dua juta lahan kritis di daerah atas. Daerah hutan.
Dampaknya termasuk untuk bisa menyediakan suplai air bersih pada jutaan hektar di daerah bawah. Termasuk lancarnya suplai untuk pertanian.
Pada tahun 1966 Indonesia masih menjadi importir beras terbesar. Pada tahun 1984, Indonesia diakui lembaga dunia FAO mampu swasembada beras. Momentum tahun 1978 di Desa Badegan tentu menjadi bagian penting dari prestasi itu.
Salah satunya, dari bukit kecil itulah pelestarian lahan kritis diremot. Swasembada pangan bisa diwujudkan.
Sudah semestinya bukit yang kini dikenal Bukit Soeharto itu tidak hanya menjadi pusat ekonomi warga desa. Seharusnya juga menjadi arena pengembangan spirit kesadaran pelestarian lingkungan bagi generasi penerus bangsa. Salah satunya melalui perkemahan tematik pelestarian ekologi secara berkala.
Tanpa penegasan peranannya dalam pelestarian ekologi, bukit itu akan kurang bermakna. Masalah ekologi itu pula, presiden Soeharto hadir di tempat itu.
Meresmikan selesainya penanaman 2 juta hektar lahan kritis di kawasan hutan. Sebuah area yang tidak sempit. Prestasi itu harus bisa diulang generasi- generasi setelahnya. Bahkan harus lebih baik. ***