Scroll untuk baca artikel
Opini

Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)

×

Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)

Sebarkan artikel ini
Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle (foto_scn)
Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle (foto_scn)

Ketimpangan dan kemiskinan yang terus melebar semakin parah dengan adanya pandemi covid-19 selama dua tahun ini. Akibat pandemi, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan jutaan usaha mengalami kebangkrutan. Namun, pandemi ini juga dapat menjadi refleksi jika pandemik itu sebuah keharusan bagi kita untuk belajar mencintai kehidupan dan solidaritas. Belajar mencintai alam dan Tuhan Y.M.E. Refleksi pertama yang harus dilakukan adalah apakah bangsa ini bisa menghargai pasal 33 UUD 1945, yakni seluruh kekayaan alam adalah milik negara? Refleksi kedua adalah apakah sila ke-5 Pancasila itu, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dapat kita mulai canangkan?

Refleksi pertama ini misalnya penting saya uraikan sebagai berikut. Beberapa waktu lalu saya ketemu dengan pimpinan perusahaan Batubara terbesar di Indonesia. Kebetulan teman kuliah di ITB. Dengan santainya dia mengatakan telah mensubsidi perusahan listrik negara (PLN), karena memberikan harga batubara murah ke perusahaan itu. Dia menghitung subsisdi yang dia berikan triliunan rupiah. Tapi, menurut saya jika pasal 33 UUD 45 diberlakukan, maka semua tambang yang dia miliki adalah milik negara. Kepemilikan perusahaan dia di tambang itu hanya bersifat derevatif.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Sehingga konsep DMO (Domestic Market Obligation) dengan harga pemerintah itu adalah hak rakyat yang memang begitu adanya, bukan kebaikan ati pengusaha. Seandainya negara benar-benar menguasai tambang batubara, misalnya, maka perusahaan pemilik tambang yang ada selama ini, dapat difungsikan hanya sebatas kontraktor saja, dan itupun untuk bisnis UMKM dan skala menengah.

Konsep penguasaan negara ini harus tegas. Belakangan ini “windfall” yang dibanggakan Sri Mulayani dari ekspor batubara tidak lah banyak diperoleh negara sebagai inkom. Padahal Faisal Basri sudah menghitung penjualan batbara itu mencapai seribuan triliun rupiah. Refleksi ini berlakku juga untuk semua bisnis ekstraktif, yang tidak memerlukan sentuhan teknologi.

BACA JUGA :  Bjorka dan Revolusi

Refleksi kedua adalah konsep pembangunan ke depan. Professor Stiglitz, Amartya Sen dan Fittousi, Bersama puluhan professor lainnya, di Prancis, pada tahun 2008, telah mengkritik konsep pembangunan yang hanya berpusat pada ukuran GDP. Mereka menekankan pentingnya ukuran kualitas hidup, yakni yang menekankan keseimbangan kesejahteraan (share prosperity) dan keberlanjutan (menyisakan kekayaan alam untuk generasi anak cucu) Mereka juga mengkritik BPS (Biro Pusat Statistik) negara-negara di dunia yang kurang memasukkan unsur kualitatif dalam memotret kesejahteraan. Jika kita ingin kembali ke sila ke-5 Pancasila, maka kita harus meninggalkan praktek-praktek kapitalisme itu. Namun, jika mampu.

Jalan tengahnya adalah melakukan anjuran Sitglitz dkk. Itu bisa dilakukan dengan memilih dan memilih konsep pertumbuhan yang dibanga-banggakan Jokowi di atas. Pertama pertumbuhan, lalu pemeratan (Growth than equity); kedua, pertumbuhan dan pemerataan (Growth with equity); dan ketiga, pertumbuhan melalui pemerataan (Growth through equity).