LAMPUNG TIMUR — Udara pagi Sukadana beraroma basah tanah dan kopi hitam. Di halaman luas Pemkab Lampung Timur, ribuan santri berseragam putih berdiri berbaris rapi, sebagian memegang bendera, sebagian lagi membawa kitab kecil yang sudah lemas di ujungnya.
Mereka datang bukan sekadar untuk apel, tetapi untuk meneguhkan makna, bahwa santri bukan sekadar gelar, melainkan cara hidup.
Rabu (22/10/2025) itu, halaman Pemkab berubah jadi lautan putih. Di tengah barisan berdiri Bupati Lampung Timur, Ela Siti Nuryamah, mengenakan busana bernuansa putih yang di dunia pesantren melambangkan kesederhanaan dan kesetiaan pada ilmu.
Ia memimpin apel besar peringatan Hari Santri Nasional 2025 dengan nada penuh syukur dan kebanggaan.
“Hari ini bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tapi menatap masa depan,” katanya dengan suara yang menembus pengeras suara lapangan.
“Santri harus menjadi pelopor perubahan tangguh, cerdas, dan berakhlak mulia.”tegas dia.
Sejak ditetapkan pada 2015, yakni 22 Oktober menjadi simbol pengakuan negara terhadap peran kaum sarungan dalam sejarah bangsa. Hari itu menandai lahirnya Resolusi Jihad yang digagas KH. Hasyim Asy’ari tahun 1945 sebuah seruan yang menyalakan api perjuangan hingga meletuslah peristiwa 10 November di Surabaya.
Kini, delapan dekade kemudian, semangat itu bergema di Lampung Timur, jauh dari hiruk-pikuk kota besar, tapi tetap dalam nada yang sama: cinta tanah air dan iman yang kokoh.
Suasana apel pagi itu tak melulu kaku. Di sela pidato resmi, Ela melontarkan humor yang membuat para santri tersenyum.
“Santri zaman sekarang bukan cuma harus bisa baca kitab kuning, tapi juga harus melek teknologi. Kalau dulu pegang pena, sekarang pegang ponsel. Tapi ingat, jangan diganti jadi ponsel yang lebih pintar dari akhlaknya,” ujarnya, disambut tawa lembut barisan depan.
Kalimat itu sederhana, tapi mengandung pesan mendalam: santri harus bisa berdamai dengan zaman tanpa kehilangan jati diri.
Di bawah langit biru Lampung Timur, semangat kebersamaan terasa nyata. Dari panggung kehormatan, para pejabat daerah berdiri sejajar—Wakil Bupati Azwar Hadi, Kepala Kemenag Indrajaya, Kepala BPN Munawar, hingga Ketua TP PKK Huzaimah Azwar.
Semuanya seolah menjadi saksi hidup bahwa dunia birokrasi dan dunia pesantren bisa bersanding, bukan berjarak.
Selain apel dan doa bersama, peringatan Hari Santri di Lampung Timur juga menjadi ajang apresiasi.
Pemerintah kabupaten menyerahkan bantuan inkubasi pesantren sebesar Rp50 juta untuk
Empat santri berprestasi turut naik ke panggung menerima penghargaan wajah mereka memerah menahan malu dan bangga saat nama mereka disebut.
“Ini bukan akhir perjuangan, ini baru permulaan,” kata salah satu guru pembimbing dengan mata berkaca-kaca.
Di akhir acara, Bupati Ela menyampaikan duka mendalam atas wafatnya 67 santri Pondok Pesantren Al Qodiri, Sidoarjo, dalam tragedi yang mengguncang dunia pesantren beberapa hari sebelumnya.
Doa bersama pun menggema. Hening. Tak ada suara kecuali desiran angin yang membawa lantunan istighfar.
“Semoga para santri yang wafat husnul khatimah, dan kita yang masih di sini mampu meneruskan perjuangan mereka dengan amal dan ilmu,” ucap Ela pelan, menundukkan kepala.
Ketika apel usai, para santri bubar dengan senyum, sebagian mengabadikan momen di kamera ponsel, sebagian menyalami teman dari pesantren lain.
Di langit Sukadana, bendera merah putih masih berkibar tegak menjadi saksi bahwa pesantren, dengan seluruh kesederhanaannya, tetap menyala di tengah derasnya arus modernitas.
Karena di ujung semua upacara dan simbol, satu pesan abadi menggema dari podium ke hati, “Santri bukan masa lalu bangsa, tapi masa depannya.”***