Opini

‘Gelombang PHK dan Perfect Storm’: Buruknya Nasib Buruh Indonesia

×

‘Gelombang PHK dan Perfect Storm’: Buruknya Nasib Buruh Indonesia

Sebarkan artikel ini

(Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)

WAWAINEWS – Said Iqbal, ketua Partai Buruh, yang berewokan mirip Lula Da Silva, tokoh Buruh Brazil, kemarin memberi ultimatum kepada pemerintah dan pengusaha untuk tidak mengorbankan nasib buruh ketika ancaman resesi dunia datang ke Indonesia. Ancaman resesi ini, dalam istilah Luhut Panjaitan disebutkannya “Perfect Storm”, atau sebuah badai sempurna, yang dapat memporak-porandakan ekonomi kita. Dan Iqbal mengancam akan menurunkan massanya, kaum buruh, menolak gelombang PHK massal di depan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Dari banyaknya pemberitaan media saat ini terkait gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), ada dua buah berita menarik yakni “Ada Gelombang PHK, Klaim JHT Meningkat Sebanyak 2,2 Juta Pekerja” dan “Di DKI Jakarta Ada 395.866 Pekerja Kena PHK Telah Mengklaim JHT” keduanya oleh Kompas, 30/9 dan 5/10. Dalam penjelasan peningkatan jumlah PHK, selama Januari – Agustus tahun ini, disebutkan terjadi peningkatan sebesar 49% atau lebih dari satu juta jiwa, secara nasional, dibandingkan tahun lalu. Kedua berita di atas menunjukkan bahwa telah lebih dari sejuta orang memang mengalami PHK, tahun ini. Jumlah ini hampir dipastikan pula pekerja formal, karena mereka terdaftar sebagai peserta JHT BPJS ketenagakerjaan.

BACA JUGA :  Tiket Sekali Jalan

Apakah “Perfect Storm” yang dimaksudkan oleh LBP sudah tiba?

Baca juga: Refleksi akhir Tahun, Gubernur : Tak Ada PHK di Lampung, Ekspor Meningkat

Menurut konsensus para ahli krisis yang dimaksudkan akan datang tahun depan. CNN Internasional memberitakan dalam “5 signs the world is headed for a recession”, 2/10, antara lain:
“While the consensus is that a global recession is likely sometime in 2023, it’s impossible to predict how severe it will be or how long it will last. Not every recession is as painful as the 2007-09 Great Recession, but every recession is, of course, painful.” Meski krisis akan datang tahun depan, sebelum badai krisis datang kita sudah melihat gelombang PHK begitu dahsyatnya saat ini. Apalagi ketika badai krisis datang?

Baca juga: Riuh Gemuruh Buruh

BACA JUGA :  Bitung, Jauhkan dari Politik Aliran

Atau kita bisa sebaliknya, melihat perspektif ekonom Chatib Basri, bahwa badai itu hanya akan memperlambat ekonomi saja, tidak sampai membuat krisis. Sebab, krisis ekonomi adalah situasi penurunan aktifitas ekonomi, seperti GDP, penurunan inkome riil, penurunan lapangan kerja, dan penurunan industri, selama beberapa quarter dalam grafik yang tajam. Menurut Basri, kemungkinan kita seperti tahun 2007-2008 saja. Tidak besar dampaknya, hanya perlambatan.

Terlepas krisis datang seperti kata Luhut Panjaitan maupun hanya perlambatan kata Chatib Basri, nasib buruh yang terpuruk sudah menjadi kenyataan. Said Iqbal, dalam pernyataannya diberbagai media mengatakan bahwa badai krisis yang disampaikan pemerintah hanyalah upaya menakut-nakuti. Seharusnya, pemerintah bekerja keras untuk membuat tidak ada krisis sehingga tidak ada PHK. Caranya dengan meningkatkan daya beli kaum buruh melalui kenaikan upah sebesar 13%. Sehingga nantinya terjadi konsumsi yang lebih besar dan perputaran ekonomi membaik.

Baca juga: Kapolri dan Panglima Tinjau Vaksinasi Massal Buruh di Sumedang

Persoalan upah buruh memang menyedihkan paska pandemi covid-19. Survei Mekari April 2022 dalam judul “Mekari Whitepaper: Laporan Kesejahteraan Karyawan 2022 terhadap 5500 karyawan dari 300 perwakilan divisi SDM, Kompas, 10/10, menunjukkan 74% karyawan mengalami kemerosotan daya beli, sebanyak 61% mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan hanya 15% yang masih mampu bertahan jika terjadi PHK. Survei ini memotret buruh dalam sekor formal. Sektor formal, sekali lagi, adalah sektor yang secara hirarkis memberikan kesejahteraan lebih baik dari buruh sektor non formal dan informal. Sehingga secara keseluruhan kita dapat membayangkan kesejahteraan pekerja kita mayoritas dihantui ketidakpastian hidup.

BACA JUGA :  Iedul Adha dan Festival Tusuk Sate

Untuk memperkuat gambaran buruknya nasib pekerja kita, sebuah survei yang dilakukan Litbang Kementerian Perhubungan tentang Ojek Online, Kompas 9/1/, sebagai berikut: pendapat pengemudi ojek perhari hampir sama dengan pengeluaran mereka, yakni berkisar Rp. 50.000-Rp.100.000. Mereka adalah anak usia 20-30 tahun sebanyak 40,63%, dan menjadi pengemudi ojol sebagai penghasilan utama sebanyak 54%. Jumlah pengemudi Ojol ini berkisar 4 jutaan. Untuk kelompok GO-JEK sendiri, dream.co.id, 5/8/22, memberitakan jumlah mitra GO-JEK sebesar 3,7 juta pengemudi.