CIREBON – Setelah kejadian di Makasar, giliran Gedung DPRD Kabupaten Cirebon dibakar massa. Ribuan massa yang awalnya berorasi di depan pagar, berakhir merangsek masuk, membakar, dan menjarah isi kantor wakil rakyat, pada Sabtu 30 Agustus 2025.
Sekitar pukul 13.00 WIB, gelombang manusia tak terbendung lagi. Batu, bambu, dan amarah jadi senjata. Pagar utama DPRD jebol, kaca-kaca pecah, api muncul di beberapa sudut. Gedung yang mestinya jadi rumah demokrasi, berubah jadi arena amuk massa.
Bukan hanya dinding yang terbakar, tapi juga wibawa lembaga. Ratusan orang menyerbu ruang rapat, menghancurkan meja, kursi, hingga memporak-porandakan fasilitas kantor. Komputer, televisi, printer, bahkan sofa ikut raib. Dari catatan warga, barang-barang itu diangkut bak hasil operasi “bagi-bagi jatah” paling nyata.
Tak puas dengan isi gedung, massa juga menguliti besi pagar di sekeliling kompleks DPRD dan merambah Taman Pataraksa di depannya. Sekitar pukul 14.15 WIB, mereka bubar dengan tangan penuh barang jarahan. Gedung masih terbakar, asap pekat membubung—seolah menyimbolkan demokrasi yang ikut hangus.
Rakyat Marah, Negara Goyah
Yang ironis, aparat keamanan tampak hanya berjaga, nyaris tak berdaya menghadapi ribuan massa. Gedung DPRD kini tinggal kerangka gosong, rusak parah tanpa kepastian kapan akan kembali difungsikan.
Kejadian ini memperlihatkan paradoks: gedung yang dibangun dari keringat pajak rakyat, akhirnya dirobohkan oleh rakyat sendiri. Sebuah drama tragis yang menohok pertanyaan: apa yang sebenarnya dibakar, gedungnya atau kepercayaan publik terhadap wakilnya?***













