LAMPUNG – Harga singkong dunia lagi-lagi “melorot manja” seperti sandal jepit kena hujan. Dampaknya, petani di Lampung yang selama ini jadi tulang punggung tapioka nasional kini cuma bisa geleng-geleng sambil menghitung sisa utang pupuk dan bensin cangkul.
Permintaan tapioka global turun drastis, terutama dari sektor kertas dan pangan. Alias dunia sedang kenyang dan sudah berhenti ngeprint.
Menurut data Asosiasi Perdagangan Tapioka Thailand, harga ekspor (FOB Bangkok) turun dari US$568/ton jadi US$405–450/ton.
Dari Bangkok sampai Bakauheni, efeknya sama harga singkong di tingkat petani ikut nyungsep ke Rp1.000–1.100/kg, kadang masih dipotong 40% lagi pakai jurus “rafaksi maut”.
Pemerintah sebenarnya sudah menetapkan harga dasar Rp1.350/kg, tapi sayangnya harga dasar itu hanya berlaku di kertas, bukan di pasar.
Sementara di lapangan, petani masih bingung apakah singkongnya mau dijual, direbus, atau dijadikan patung protes di depan pabrik.
Industri tapioka global sedang bad mood. Pabrik-pabrik besar di Asia menahan pembelian bahan baku karena pasar ekspor melemah. Efek domino pun terjadi:
- Thailand dan Vietnam mengurangi impor singkong,
- pabrik-pabrik di Indonesia ikut ngirit,
- petani Lampung jadi korban terakhir di rantai makanan industri global ini.
Singkong yang dulu dianggap “emas putih” kini berubah jadi “beban putih” berat di ladang, murah di timbang.
Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Provinsi Lampung, Mulyadi Irsan, mencoba menenangkan situasi dengan gaya diplomat pasar tradisional:
“Hubungan petani dan pabrik harus harmonis dan berkeadilan.”katanya sebagaimana dilansir wawai news, Sabtu 11 Oktober 2025.
Kira-kira seperti hubungan LDR harus saling mengerti, walau sering disakiti harga pasar.
Menurutnya, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal sudah menginstruksikan agar kemitraan petani dan industri diperkuat. Caranya? Lewat program pelatihan, pembiayaan, bibit unggul, dan doa bersama agar harga global segera naik.
“Kalau harga dipaksa naik tanpa dukungan pasar, industri bisa kolaps,” kata Mulyadi
Sementara Lampung masih sibuk merumuskan “harga adil”, tetangga sebelah sudah melesat jauh. Thailand dan Vietnam berhasil menekan biaya produksi dan meningkatkan kadar pati.
Lampung? Masih sibuk memperdebatkan siapa yang harus lebih dulu diselamatkan: petani atau pabrik.
“Lampung punya potensi besar,” kata Mulyadi lagi, dengan nada yang sama seperti saat pejabat bicara tentang “pariwisata berkelanjutan” di tengah banjir rob.
Pemprov Lampung kini berjanji akan memperkuat pelatihan dan pendampingan petani, biar hasil panen makin bagus dan pabrik tidak lagi punya alasan menolak. Sayangnya, dari sekian rencana, yang paling cepat dieksekusi baru rapat koordinasi dan dokumentasi foto.
Singkong seharusnya jadi simbol ketahanan pangan. Tapi kini, ia justru jadi simbol ketahanan mental petani.***