Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 01/09/2025
WAWAINEWS.ID – Apa sebenarnya kesalahan 1998? Apa yang seharusnya tidak kita ulangi?
Bukan sekadar “percaya” pada momentum, melainkan percaya buta bahwa seluruh gerakan punya misi tunggal: reformasi. Kala itu kita larut dalam euforia, seolah semua yang turun ke jalan berhati mulia dan hanya ingin menumbangkan KKN. Semua orang tiba-tiba dapat gelar gratis: pejuang reformasi. Label ini dijual bebas, lebih cepat laku daripada gorengan panas.
Padahal, sejarah mencatat: begitu Soeharto turun, “reformasi” berubah jadi pasar malam. Ada lima kelompok utama yang sama-sama rebutan kursi kemudi, dan rakyat jadi penonton yang bayar tiketnya dengan krisis.
- Globalis dan Agen Dalam Negeri
Mereka melihat Soeharto sedang memoles industri strategis—mulai dari pesawat N-250, PT PAL, sampai Telkom lalu panik. Amerika bolak-balik kirim misi ke Singapura, bukan untuk belanja laksa, tapi memastikan Soeharto segera turun.
Hasilnya? Temasek Holding merangsek masuk. Telkom, Indosat, Astra, satu per satu pindah alamat kepemilikan. Privatisasi jadi mantra sakti. Singapura tersenyum, Indonesia terbirit-birit.
- Kaum Pragmatis: Penikmat Kue Orde Baru
Inilah kelas paling lihai: oportunis. Saat Soeharto jatuh, mereka bukan ikut terseret, tapi ikut selfie di panggung reformasi. Agar dicap reformis, cukup teriak “turunkan Soeharto” lima menit, lalu amanlah rekening dan kursinya.
- Eks dan Simpatisan PKI
Agenda mereka jelas: balas dendam. Narasi utama: “ganti rugi atas kejahatan Orde Baru.” Dibalut jargon HAM, seolah semua dosa bisa dicuci dengan klaim korban. Fahmi Idris bahkan nyeletuk, sing uwis yo uwis. Sayangnya, sejarah tak sesederhana “reset password.”
- Kaum Reformis Idealis
Mahasiswa, akademisi, dan intelektual yang sungguh-sungguh ingin demokratisasi, anti-KKN, dan penghapusan Dwifungsi ABRI. Mereka membawa idealisme, bukan kalkulator politik. Tapi dalam politik, idealis sering hanya jadi bumbu penyedap. Nurcholish Madjid jadi simbol moral, Amin Rais sempat dielu-elukan, lalu redup ditelan permainan kuasa.
- Soeharto Sendiri
Uniknya, Soeharto bukan takut kehilangan jabatan, tapi takut mimpinya “tinggal landas 2000” kandas. Ia minta tambahan waktu tiga tahun. Sayang, yang dia dapat justru tiket keluar panggung.
Hasilnya?
Begitu Soeharto lengser, skenario dikuasai globalis dan pragmatis. Eks-komunis kebagian jatah narasi. Reformis idealis perlahan tersingkir. Narasi Pancasila mulai direduksi, diganti aroma ideologi kiri. KKN yang katanya mau diberantas? Hari ini malah disajikan lebih renyah dengan topping politik dinasti.
Teori Membenarkan Kekacauan Itu
- Resource Mobilization Theory (McAdam, McCarthy & Zald): gerakan massa hanyalah koalisi sementara. Musuh bersama membuat mereka bersatu, setelah musuh tumbang, mereka saling makan.
- Conflict Theory (Marx & Dahrendorf): reformasi hanyalah episode baru dalam perebutan sumber daya.
- Gramsci (Hegemoni vs Counter-Hegemoni): narasi tunggal “pejuang reformasi” hanyalah hegemoni. Begitu tirai terbuka, tampaklah para penumpang gelap berebut mikrofon.
Pelajaran untuk 2025
Gerakan massa jangan lagi jadi open house bagi semua yang mengaku reformis. Tahun 1998 kita lalai memverifikasi siapa penumpangnya. Akibatnya, justru penumpang gelap yang mengemudikan kereta.
Reformasi bukan gagal. Reformasi dibajak.
Dan kalau kita lengah lagi, 2025 akan jadi sekuel yang sama—hanya pemainnya berganti, tapi penontonnya tetap: kita semua.
ARS – Jakarta
(rohmanfth@gmail.com)