Tapi penghormatan dan kesopanan bukan berarti harus dengan salaman dan jabat tangan. Di Arab antar lelaki saling cium pipi jika bertemu.
Di Eskimo saling beradu hidung. Di Jepang mereka beradu lama menundukkan kepala. Di Indonesia dua telapak tangan disatukan dekat ke dada. Dan banyak cara lainnya.
Di Belanda, antar lawan jenis, misalnya, selain bersalaman kita harus cium pipi sebanyak 3 kali. Itu saya lakukan bertahun-tahun dalam kehidupan keluarga jika di Belanda.
Di beberapa negara eropa lainnya cium pipi hanya dua kali saja. Kalau dengan kaum homoseks kita harus menepukkan beberapa kali kepunggung belakangnya tanda kita bukan gay.
Jadi klaim universal itu tidaklah mutlak. Substansinya yang teramat penting adalah saling respek atau jika dosen berhadapan dengan mahasiswa, bagi dosen pemaham ortodoks atau konservatif atau gila hormat, setidaknya mahasiswa memberi kan hormat dengan cara yang mahasiswa itu nyaman melakukannya.
Rezim Jokowi sudah berlangsung delapan tahun. Mahfud MD beberapa hari lalu telah mengangkat isu keterbelahan atau perpecahan di Indonesia yang begitu dalam.
Ini adalah akibat semangat anti Islam atau Islamophobia yang dikembangkan rezim Jokowi. Selama delapan tahun ini saya melawan pemerintahan Jokowi dan sudah masuk penjara karena itu.
Namun, saat ini situasi semakin kompleks. Ketidakpuasan rakyat sudah meluas dengan spektrum ekonomi yang parah. Kompas melaporkan hasil surveinya beberapa hari lalu, bahwa 70% orang Indonesia kesulitan makan atau membeli kebutuhan pokok.
Mungkin ledakan sosial akibat persoalan konflik identiti dan struktural ini akan terjadi habis lebaran. Ketika uang habis dipake mudik. Ketika kerjaan tidak ada.
Ketika biaya-biaya kebutuhan pokok, BBM dan pendidikan anak tidak terjangkau lagi. Semua akan menjadi pemicu.
Persoalannya adalah apakah rezim ini punya jalan keluar? Mungkin Jokowi akan melakukan reshuffle kabinet bulan Juni? Tapi apakah itu sebuah jalan yang berarti?
Lieus Sungkarisma sudah mengeluarkan isu rekonsiliasi nasional pemerintah dan oposisi.
Andi Arif, ketua Bappilu Partai Demokrat, sudah mendorong adanya dialog besar yang melibatkan juga tokoh tokoh oposisi.
Namun, isu utama yang harus diselesaikan menurut saya adalah Islamophobia.
Seiring dengan Perserikatan Bangsa-bangsa mengeluarkan resolusi anti-Islamophia, Indonesia harus masuk pada arus besar itu. Apalagi Indonesia sesungguhnya 80an % beragama Islam.
Kenapa kita justru membuat arus yang berlawanan?. ***
(Catatan Akhir Ramadhan, 1443 H)