Scroll untuk baca artikel
NasionalOpiniPolitik

Jusuf Kalla, La Ode Umar dan Politik Identitas

×

Jusuf Kalla, La Ode Umar dan Politik Identitas

Sebarkan artikel ini

Oleh: (Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)

WAWAINEWS.ID – Dua putra Sulawesi sudah membuat diskursus tentang identitas bangsa ini beberapa hari kebelakang. Jusuf Kalla menggugat etnis China (Tionghoa) dalam pidatonya pada acara Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), 12/5/23 lalu. Dalam berita Kumparan online kemarin, dengan judul “JK: Ekonomi RI 50% lebih Dikuasai Orang China, Tapi Mereka Tidak Salah”, disebutkan bahwa disemua negara Islam, baik Turki, Arab bahkan Pakistan semua orang kayanya adalah pribumi. JK membandingkan juga Malaysia dan Indonesia di mana situasi Malaysia lebih baik, karena orang China di Malaysia menguasai 60% ekonomi, namun jumlahnya mencapai mereka 30%, sebaliknya orang China di sini hanya 4,5%.

Scroll untuk baca artikel

Putra Sulawesi lainnya, La Ode Umar, mantan anggota DPRD PDIP Kendari dan pimpinan PDIP Sultra, memberi pesan ke publik melalui video bahwa Anies Baswedan adalah orang Arab. Karena bukan Indonesia asli, menurutnya Anies tidak pantas untuk menjadi Presiden RI. Umar yang mengklaim juga sebagai ketua KNPI, dalam beberapa media membantah pernyataan itu sebagai rasisme.

BACA JUGA: Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)

Pernyataan Jusuf Kalla dan pernyataan La Ode Umar sangat menggema di publik, khususnya media sosial. Pernyataan Kalla yang diberikan lebih belakangan dari pernyataan La Ode, bisa jadi tidak mempunyai relasi. Namun, tanpa melihat relasinya pun kita dapat melihat bahwa apa yang diungkapkan Kalla berkaitan dengan Anies Baswedan. Sebab, sebagai promotor utama Anies selama 20 tahun belakang ini, Kalla ingin mendudukkan perkara identitas dalam konteks yang relevan dan masuk akal. Sebuah diskursus substansial, bukan sekedar narasi rasis, seperti yang dilakukan Laode Umar itu.

Namun, kita harus menjawab kedua hal di atas. Baik Jusuf Kalla, maupun La Ode Umar itu. Dalam menyongsong kebangkitan nasional beberapa hari mendatang, bangsa kita harus tuntas melihat siapa itu pribumi dan juga mengapa ketimpangan kekayaan begitu besar.

Persoalan identitas kita dapat melihat dari beberapa perspektif. Pertama, personal, dan kedua, kebangsaan. Untuk hal ini, pada tulisan saya terdahulu “Agnes Mo, Anies Baswedan dan Sukanto Tanoto” (news.republika.co.id/berita/q1nlxm385/agnes-mo-anies-baswedan-sukanto-tanoto-dalam-nasionalisme), saya terangkan perbedaan antara Agnes Mo, Anies dan Sukanto Tanoto. Agnes mengaku tidak mempunyai darah Indonesia sama sekali, dalam wawancara selebritis di Amerika, pada 2019 lalu. Berbagai kelompok menyerang Agnes tak tahu diri, melakukan penyangkalan sebagai orang Indonesia, padahal makan dan besar di Indonesia. Di sini saya terangkan bahwa Agnes adalah warganegara Indonesia. Pembahasan Agnes adalah personal, tidak ada kaitannya dengan politik kebangsaan kita. Dengan fasilitasi teknologi modern, DNA mampu melacak asal-usul seseorang. Dan Agnes hanya seorang personal yang jujur.

BACA JUGA: Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)

Untuk urusan identitas dengan sampel DNA ini, misalnya, ternyata Najwa Shihab, yang dianggap keluarga keturunan arab, mempunyai darah China sebesar 4%, lebih besar dari darah arabnya, 3% saja ( sumber: BBC Indonesia, 15/8/21 dalam “Siapa Manusia Indonesia? Tidak Ada Pribumi atau Non-Pri, Kita Semua Pendatang). Eijkman Institute mengatakan tidak ada Indonesia Asli, setelah meneliti 70 populasi etnik di 12 pulau di Indonesia.

Dalam tulisan saya terdahulu itu juga, saya jelaskan soal Anies Baswedan, yang saat pelantikan GUbernur DKI, 2017, berjanji akan memajukan kaum Pribumi di Indonesia, itu adalah urusan politik kebangsaan. Faktanya memang situasi ketimpangan kita, sebagaimana dilansir Jusuf Kalla, ada etnis China yang jumlahnya sedikit telah menguasai lebih dari 50% perekonomian nasioanal. Memajukan kaum pribumi adalah tugas kebangsaan dan sebuah patriotisme bagi seorang pemimpin. Kenapa, karena kemerdekaan kita ditujuan untuk menciptakan kemakmuran bersama dan keadilan sosial tanpa ketimpangan.

Lalu, bagaimana Laode Umar mengatakan bahwa Anies tidak pantas menjadi calon presiden? Menurutnya hanya orang Indonesia asli yang boleh dan dalam videonya, dia mengasosiasikan Anies serupa saja dengan bangsa penjajah Belanda, meski 350 tahun di Indonesia, tetap saja bukan asli. Prijanto, mantan Wagub DKI Jakarta, dalam tulisannya “Adakah dan Siapakah Orang-orang Bangsa Indonesia Asli itu“ (teropongsenayan.com/83343-adakah-dan-siapakah-orang-orang-bangsa-indonesia-asli-itu), meyakini bahwa secara antropologis, pribumi itu ada. Dia merujuk pada pikiran Bung Hatta yang mengatakan: “Bumiputra adalah pembentuk kesadaran pertama yang bersifat menyatukan dalam perjuangan pergerakan kebangsaan dalam melawan kolonialisme. Karena itu, bumiputra atau pribumi adalah konsep perjuangan yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan bangsa dan negara Indonesia”. Lebih lanjut, Prijanto merujuk pada (suku) bangsa yang melakukan Sumpah Pemuda tahun 1928. Pribumi adalah bangsa yang berakar pada etnis yang ada di Indonesia ketika itu. Artinya (keturunan) Belanda, Arab dan China bukanlah asli. Namun, dalam artikel ini Prijanto tidak menyinggung soal apakah presiden harus orang Indonesia Asli.

BACA JUGA: Anies, ‘Oemar Bakri’ dan Pendidikan untuk Orang Miskin

Argumentasi Laode Umar sangatlah lemah. Pertama, Indonesia asli yang dikenal sebagai pembatasan calon presiden hanyalah ada di UUD’45 sebelum amanemen. UUD yang berlaku saat ini hanya menyaratkan warganegara yang sejak lahir dan tidak pernah kehilangan kewarganegaraan. Hal ini terjadi karena di era reformasi, tokoh-tokoh PDIP, seperti Professor Sahetaphy, dan PAN, seperti Amien Rais, dan banyak tokoh lainnya, melakukan kajian ulang makna asli tersebut. Hasilnya, melalui amandemen di MPR, mereka merubah syarat calon presiden itu; menghapus syarat Indonesia asli.

Lalu apa itu asli? Asli yang kita kenali secara antropologi dan sejarah disebutkan sebagai Proto-Melayu. Bangsa-bangsa ini umumnya mempunyai wajah petak dengan rahang bawah yang lebih besar, seperti Batak, Toraja dan Dayak. Ini diluar manusia purba yang pernah ada, seperti Meganthropus Paleojavanicus dan Homo erectus yang sudah punah. Sedangkan pribumi adalah pendatang yang sudah turun temurun sepanjang ratusan tahun, atau disebut Deutro-Melayu.

Bangsa Buton, Deutro-Melayu, misalnya, sebagaimana dilansir Wikipedia, merupakan bangsa yang dibentuk oleh 4 orang pendatang dari Malaysia. Mereka datang ke Indonesia pada abad ke 13. Kenapa saya mencontohkan Buton, karena Laode Umar adalah orang Buton. Jika dibandingkan dengan orang Arab yang datang ke Indonesia, antara abad ke-7 dan abad ke -13, tentu saja usia keturunan arab di Indonesia lebih lama dibanding Buton. Bahkan, dalam “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteit Bibliotheek Leiden, Belanda”, Suryadi, Jurnal Humaniora, 2007, menunjukkan stempel kesultanan Buton memakai Bahasa Arab. Artinya, mereka (Buton) mencontoh kebudayaan Arab Indonesia. Tapi, mengapa Laode Umar Bonte itu yakin pribumi dan Anies bukan?

BACA JUGA: Pasutri asal Pesawaran Ternyata Ikut Jadi Korban Keganasan Mbah Slamet Dukun Pengganda Uang di Banjar Negara

Perdebatan tentang asli dan pribumi pada akhirnya mendudukkan suku bangsa Deutro Melayu sebagai pribumi, namun bukan asli. Bangsa Buton dan Arab adalah pendatang. Namun, karena mereka sudah turun temurun, menjadi pribumi.

Orang-orang Arab, meskipun mengalami politik pengelompokan (Ethnic Enclaves) dan stratifikasi yang dilakukan paksa Belanda, berusaha untuk terus menyatu dengan seluruh etnis bangsa lainnya. Kenapa demikian? Karena sebelum kedatangan Belanda, Islam telah ratusan tahun menjadi agama utama. Orang-orang Arab yang umumnya dipersepsikan pengetahuan agamanya lebih baik, banyak menjadi panutan. Bahkan, dalam era kerajaan dan kesultanan, keturunan Arab banyak yang menjadi Sultan, seperti di Kalimantan Barat dan Cirebon.

Pada saat kolonialisme terjadi, Belanda menganggap Islam adalah ancaman terhadap eksistensi mereka. Nancy Florida, yang melakukan riset disertasi Jawa dan Islam, dalam kutipan buku Irfan , Afifi, 2019, “Saya, Jawa dan Islam”, memperlihatkan sejak dulu, sebelum kolonial datang, Islam dan Jawa, tidak mengalami pertentangan . Memang, sejarah mencatat bahwa pertentangan Islam dan adat-adat atau budaya lokal terjadi sejak adu-domba Belanda antara Islam dan adat. Itulah sebabnya, banyak tokoh-tokoh nasioanal kita yang melawan Belanda berasal dari keturunan Arab.