Scroll untuk baca artikel
NasionalOpiniPolitik

Jusuf Kalla, La Ode Umar dan Politik Identitas

×

Jusuf Kalla, La Ode Umar dan Politik Identitas

Sebarkan artikel ini

Kedua, argumentasi Laode Umar tidak melihat fakta sejarah bahwa Anies adalah cucu pahlawan nasional. Aspek kesejarahan ini penting sebagai perhatian khusus bahwa dalam darah Anies mengalir anti kolonialisme. Bagaimana mungkin Laode Umar mengasosiasikannya dengan VOC/Belanda?

Argumen yang murahan dari Laode Umar menunjukkan pernyataan rasis Laode hanyalah demi kepentingan politik jangka pendek saja, yakni ingin memenangkan jagoan capres partainya secara jahat. Dalam berbagai tulisan saya, perdebatan teoritis tentang “nation” ini sudah banyak saya ulas dengan mempertimbangkan pikiran Ben Anderson, Anthony Smith, Ernst Gelner, Ernst Renan, dan Eric Hobbswam. Perdebatan diantara
pakar tentang bangsa dan nasionalisme (perasaan kebangsaan) terbelah antara pandangan, di satu sisi, yang melihat sebuah bangsa hanyalah sebuah imaginer, yang hanya dibayangkan. Dan ini merupakan produk modernism atau turunan/derivative. Di sisi lainnya, melihat eksistensi sebuah bangsa merupakan fakta riil, seperti yang juga ada di abad pertengahan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

BACA JUGA: Buku Yusuf Blegur ‘Jokowi Pahlawan atau Penghianat’ Diapresiasi

Kita harus terus mengkaji soal bangsa ini, khususnya di era digital, ketika manusia telah hidup di dua alam, dunia nyata dan maya. Jangan ikut-ikutan kebodohan Laode Umar tersebut.

BACA JUGA :  Ketua MK Bersandiwara Soal Batas Usia Capres-Cawapres, Ini Penjelasanya!

Politik Pemerataan

Kembali ke isu yang diangkat Jusuf Kalla, sesungguhnya inilah isu besar bangsa ini. Meskipun Jusuf Kalla menyatakan bawa orang Tionghoa tidak bersalah, namun situasi atau fakta ini adalah sebuah kekeliruan. Bung Karno, rujukan sakti kaum PDIP, tercatat dalam sejarah Indonesia memberlakukan politik Benteng, 1950-1957. Pemerintah menjalankan program-program untuk memajukan pengusaha pribumi untuk mengimbangi pengusah Tionghoa, era itu. Artinya, negara tidak salah jika melakukan usaha itu secara terus menerus dan mengkoreksi sebab-sebab yang membuat ketimpangan ini terus melebar. Dengan sifat historisnya, maka pernyataan Kalla bukan pula pernyataan rasis. Dan Kalla meyakini bahwa jalan terbaik adalah mempercepat kemampuan dan jumlah wirausahawan pribumi.

Namun, dalam kajian historis dan polik-ekonomi, tercatat bahwa peranan negara dalam menciptakan kesenjangan itu sangat besar. Hal ini terjadi karena kelalaian negara menerapkan kebijakan pengalokasian resourses, di samping pejabat-pejabat negara yang berjiwa korup. Negara yang ditujukan sebagai proxy kaum kapitalis, umumnya dimotori oleh segelintir penguasa yang diperalat konglomerat. Mereka bekerja bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan sebagai bagian “defence industry of oligharch”, dalam istilah Professor Jeffrey Winters. Hanya dalam genggaman kaum idealislah sebuah negara dapat dikembalikan untuk kemakmuran sebesar-besarnya rakyat.

BACA JUGA :  Pasangan Rongsokan Dipadu dengan Karbitan, Apa Jadinya?

BACA JUGA: KH. Ahmad Hanafiah Ulama Berpengaruh Asal Lampung Timur Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Olehkarena itu, isu yang dilontarkan Jusuf Kalla dapat menjadi pembeda bagi kita, bahwa orang-orang yang mengembangkan isu SARA saat ini, menghujat Anies, mungkin adalah agen-agen oligarki yang menghadang rencana-rencana keadilan sosial ke depan.

Penutup

Anies adalah simbol representasi identitas muslim Indonesia. Jumlah orang muslim mencapai 87%. Dari jumlah tersebut diperkirakan mayoritasnya bangga dengan identitas Islam. Hal ini dapat dilihat pada semakin banyaknya riset-riset kebangkitan Islam di Indonesia.

Sebagai keturunan Arab dengan ibu Cirebon, yang asal muasal kearabannya telah lama sekali, tentu Anies adalah pribumi.

BACA JUGA: Dukungan Terhadap Anies Terus Mengalir, Posko Pilihan Rakyat Diresmikan

Orang-orang Arab telah datang sejak abad ke 7 maupun ke 13, yang lebih dulu dari berbagai suku bangsa lainnya, seperti Buton, misalnya. Semua pendatang ini telah berbaur menjadi pribumi. Meski pribumi bukan berarti suku asli atau bangsa Proto Melayu, seperti Batak, Toraja dan Dayak, misalnya.

BACA JUGA :  Neraka Republik

Indonesia menghormati identitas berbasis agama dan juga berbasis budaya. Itu karena keduanya bersifat natural secara sosiologis. Karena Anies beragama Islam, dan Soleh, tentu saja tidak ada hambatan untuk terganggu dalam kepemimpinan beliau. Dan ikatan sosiologis dan kultural utama adalah agama.

Memainkan isu SARA seperti yang dilakukan Laode Umar adalah cara murah untuk menjatuhkan lawan politik. Tapi, cara-cara seperti itu akan membuat militansi pendukung Anies meningkat “beyond rational”. Bisa jadi nantinya akan membuat keterbelahan rakyat.

BACA JUGA: Mengubah Euforia Menjadi Militansi Rakyat Pada Anies

Olehkarena itu, politik kompetisi ke depan harus dijalankan berdasarkan cita -cita kebangsaan yang perlu di kejar, seperti mensejahterakan rakyat miskin.

Isu ketimpangan yang dilontarkan Jusuf Kalla harus dipikirkan secara serius. Sedangkan isu murahannya Laode Umar segera dikesampingkan saja.***

Yusuf Blegur
Opini

Disampaikan Oleh Yusuf Blegur WAWAINEWS.ID – Ketika aparat…