WAWAINEWS.ID – Takotsubo cardiomyopathy atau yang dikenal dengan Sindrom patah hati, memiliki dampak emosional yang signifikan pada individu.
Hal tersebut beresiko tentunya bagi yang mengalaminya meski sindrom patah hati bersifat sementara dari segi kondisi jantung, pengaruhnya terhadap kesejahteraan mental bisa menjadi hal serius.
Sindrom patah hati, adalah suatu kondisi yang ditandai dengan melemahnya otot jantung secara tiba-tiba dan sementara, biasanya akibat stres emosional atau fisik yang parah.
Stres emosional yang memicu sindrom patah hati dapat menyebabkan atau memperburuk depresi pada beberapa individu. Sindrom ini terkait dengan stres dan memiliki insiden lebih tinggi pada wanita.
Mengenal Sindrom Patah Hati dan Cara Mendeteksinya
Melansir dari heart.org, wanita lebih mungkin mengalami nyeri dada yang tiba-tiba dan intens dibandingkan pria karena reaksi terhadap lonjakan hormon stres yang dapat disebabkan oleh peristiwa pemicu stres secara emosional.
Hal tersebut bisa berupa kematian orang yang dicintai atau perceraian, perpisahan atau perpisahan fisik, pengkhianatan atau penolakan romantis. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah kejutan yang menyenangkan, misalnya memenangkan lotre.
Kemungkinan meningkatkan depresi
Merujuk jurnal berjudul A Review of Takotsubo (broken heart) Syndrome, sindrom patah hati merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan melemahnya otot jantung secara tiba-tiba dan sementara, biasanya akibat stres emosional atau fisik yang parah.
Meskipun bukan merupakan penyebab langsung depresi, stres emosional yang memicu sindrom patah hati dapat menyebabkan atau memperburuk depresi pada beberapa individu.
Orang yang mengalami sindrom patah hati mungkin cenderung mengalami isolasi sosial karena kesulitan berinteraksi atau merasa sulit untuk menjalani aktivitas sehari-hari.
Kesepian dan isolasi sosial dapat menjadi faktor risiko untuk perkembangan depresi.
Meningkatkan Ingin Melakukan Percobaan Bunuh Diri
Sejauh ini, belum ada bukti jelas bahwa sindrom patah hati dapat meningkatkan potensi bunuh diri.
Namun, tinjauan terhadap sindrom patah hati membahas bahwa pasien dengan takotsubo cardiomyopathy memiliki prevalensi gangguan neurologis atau kejiwaan yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan sindrom koroner akut, dan tingkat stres yang tinggi dianggap sebagai faktor risiko bunuh diri.
Beberapa individu mungkin merasakan rasa putus asa atau kehilangan harapan setelah mengalami sindrom patah hati, terutama jika peristiwa pemicu terkait dengan kehilangan orang yang sangat penting dalam hidup mereka. Rasa putus asa yang mendalam dapat meningkatkan risiko pemikiran bunuh diri.