JAKARTA – Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama menegaskan sikap kritis terhadap maraknya promosi jasa nikah siri yang belakangan beredar di berbagai platform media sosial.
Fenomena ini yang ditawarkan dengan kemasan “instan, mudah, dan tanpa ribet” dinilai bukan hanya menyalahi tatanan hukum, tetapi juga berpotensi menginjak hak-hak dasar perempuan dan anak demi memenuhi “pasar layanan keagamaan kilat”.
Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Ahmad Zayadi, menilai tren ini sebagai alarm serius. Menurutnya, sahnya perkawinan tidak cukup hanya dengan akad yang berlangsung cepat di sebuah kamar, kafe, atau via video call, tetapi harus diiringi pencatatan resmi oleh negara sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 16 Tahun 2019.
“Pencatatan perkawinan bukan sekadar formalitas atau stempel administrasi. Itu adalah mekanisme perlindungan hukum,” tegasnya.
Zayadi menjelaskan bahwa tanpa pencatatan oleh negara, seluruh hak yang melekat pada institusi perkawinan nafkah, warisan, identitas anak, hingga perlindungan hukum menjadi hilang dalam sekejap. Buku nikah tidak akan diterbitkan, dan bersama itu pula hilang segala bentuk jaminan yang seharusnya diterima keluarga.
“Ini perlu dipahami masyarakat: melalui nikah siri, buku nikah tidak akan pernah ada. Dan tanpa itu, seluruh hak ikut lenyap,” ujarnya.
Di tengah euforia layanan nikah siri yang menawarkan paket “legal syar’i” dalam hitungan menit, Zayadi mengingatkan bahwa hukum negara dan syariat tidak bisa dipisahkan dari proses verifikasi yang ketat.
PP No. 9 Tahun 1975 dan PMA No. 30 Tahun 2024 mengharuskan setiap akad berada di bawah pengawasan Penghulu atau PPN sebuah mekanisme yang menjamin bahwa calon mempelai bukan di bawah umur, bukan sedang terikat perkawinan lain, dan memiliki wali serta saksi yang sah.
“Tanpa mekanisme itu, keabsahan suatu perkawinan sulit dipertanggungjawabkan, baik menurut negara maupun syariat,” katanya.
Zayadi mengkritik keras layanan nikah siri yang beredar di media sosial dengan iming-iming kemudahan. Menurutnya, layanan tersebut hampir selalu mengabaikan standar dalam Pedoman Akad Nikah Ditjen Bimas Islam.
Tidak ada verifikasi wali, saksi asal-asalan, usia calon mempelai tidak dicek, dan penghulu tidak pernah terlibat. Praktik semacam ini dapat menimbulkan dampak domino: poligami liar, sengketa rumah tangga, penelantaran perempuan dan anak, hingga potensi eksploitasi yang dibungkus jargon “syar’i”.
“Ini bukan cuma risiko administratif. Ini risiko kemanusiaan,” ujarnya.
Menurut Zayadi, negara memiliki amanat konstitusional untuk memastikan setiap perkawinan berlangsung sesuai syariat sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Karena itu, praktik jasa nikah siri digital yang diperdagangkan layaknya layanan online lain tidak dapat diterima.
“Perkawinan bukan transaksi privat. Ia adalah mitsaqan ghalizha. Menjadikannya layanan instan yang bisa dipesan seperti ojek online sungguh menyalahi prinsip agama dan hukum,” tegasnya.
Di akhir keterangannya, Zayadi mengimbau masyarakat untuk melangsungkan perkawinan secara resmi melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Ia menegaskan bahwa pencatatan negara bukan musuh syariat, tetapi penyempurnanya dalam konteks perlindungan hak.
“Pernikahan yang tercatat negara memberikan kepastian hukum, melindungi istri dan anak, dan memastikan seluruh rukun syariat terpenuhi dengan benar. Hindarilah jasa nikah tidak resmi yang berseliweran di media sosial dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar ‘hemat biaya dan cepat akad’,” tutupnya.***












