MESUJI — Kejari Mesuji resmi menahan Ketua Bawaslu Mesuji, Deden Cahyono, atas dugaan korupsi dana hibah pengawasan Pilkada 2024 sebesar Rp347 juta yang bersumber dari APBD Mesuji Tahun Anggaran 2023–2024.
Sosok yang seharusnya mengawasi jalannya demokrasi justru diduga lupa mengawasi aliran dana di lembaganya sendiri. Hal ini menambah rentetan catatan ironi wajah birokrasi di daerah.
Dana yang seharusnya menjadi “bahan bakar pengawasan Pilkada 2024” itu, kata penyidik, justru menguap tak jelas arah mungkin terlalu sibuk mengawasi spanduk dan baliho, lupa mengawasi buku kas.
Penetapan Deden sebagai tersangka dilakukan melalui Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor: TAP-1846/L.8.22/Fd.2/10/2025 tertanggal 24 Oktober 2025. Tak butuh waktu lama, Kejari langsung mengirimnya “magang sementara” di Rutan Kelas I Bandarlampung selama 20 hari ke depan, terhitung 24 Oktober hingga 12 November 2025.
“Tersangka dititipkan selama 20 hari ke depan di Rutan Kelas I Bandarlampung,” ujar pihak Kejari Mesuji dengan nada tenang seperti sudah terbiasa mengucapkannya.
Kasus ini beraw ketika Bawaslu Mesuji mengajukan dana hibah ke Pemkab Mesuji untuk operasional pengawasan Pilkada 2024. Berdasarkan Berita Acara Kesepakatan Nomor BL.04.04/535/VI.06/MSJ/2023 dan 04/HK.01.00/K.IA/06/09/2023 tertanggal 19 September 2023, Bawaslu mengajukan Rencana Kebutuhan Biaya (RKB) sebesar Rp11,2 miliar.
Namun, dari angka miliaran rupiah itu, auditor negara menemukan jejak yang tak semestinya kerugian negara Rp347,7 juta. Angka yang mungkin kecil di mata koruptor kelas kakap, tapi cukup besar untuk membayar ratusan saksi TPS dan beberapa tahun langganan internet cepat.
Penyidik menjerat sang ketua pengawas dengan tiga pasal pamungkas:
- Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18,
- Pasal 3 jo. Pasal 18, dan
- Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Semuanya bermuara pada satu pesan sederhana uang rakyat bukan untuk diracik jadi dana pribadi.
Adapun dasar hukum perjalanan kasus ini cukup rapi seolah menyindir bahwa administrasi hukum ternyata bisa lebih tertib dari administrasi hibah Bawaslu itu sendiri:
- Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT-01/L.8.22/Fd.2/04/2025, tertanggal 22 April 2025;
- Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-1846/L.8.22/Fd.2/10/2025, tertanggal 24 Oktober 2025;
- Surat Perintah Penahanan Nomor: PRINT-1848/L.8.22/Fd.2/10/2025, tertanggal 24 Oktober 2025.
Kasus ini menambah daftar panjang ironi birokrasi daerah, pengawas yang diawasi, penjaga yang dijaga. Kalau Bawaslu saja bisa tersandung dana hibah, siapa yang akan mengawasi para pengawas saat mereka “terpeleset” di jalan licin bernama anggaran?
Demokrasi memang mahal, tapi integritas tak perlu di mark-up.***













