KOTA BEKASI – Birokrasi memang bukan drama, tapi kadang kisahnya lebih berliku daripada sinetron jam sembilan malam. Contohnya, Ismail Marjuki, Lurah Teluk Pucung, yang kini sedang menjadi bintang utama dalam “episode sanksi ASN” setelah dinilai salah menerapkan regulasi dalam pemilihan Ketua RW 021 periode 2025–2030.
Kesalahan ini bukan sepele. Bukan pula karena salah ketik surat, tapi karena “berpatokan pada Perda lama”. Ya, seperti pengguna GPS jadul yang masih ngikut peta sebelum flyover dibangun.
Asisten Daerah (Asda) Pemkot Bekasi Lintong Dianto Putra memastikan bahwa Pemkot tidak akan tinggal diam.
Dalam tempo satu minggu, ia menjanjikan keputusan sanksi akan keluar antara administrasi ringan atau teguran yang cukup membuat Lurah Ismail berpikir ulang sebelum buka-buka Perda lama lagi.
“Saya sudah konfirmasi ke KaTapem. Kalau diberitakan Pak Lurah mengakui kesalahan, saya minta Kabag Tapem memanggil Camat Utara dan Lurah,” ujar Lintong dengan gaya khas pejabat yang sudah hafal pola rapat, klarifikasi, baru mungkin sanksi.
Menurutnya, klarifikasi sangat penting untuk memastikan duduk perkara, karena konflik kecil di tingkat RW bisa berimbas besar apalagi kalau warga sudah mulai “panas di grup WA”.
“Kalau ada kesalahan, tentu akan diberi sanksi administrasi atau lainnya. Tapi kalau tidak ada, ya kita publikasikan,” tambahnya.
Bahasa halus untuk, kalau salah, siap-siap dimarahi; kalau benar, siap-siap disyukuri. Masalah utamanya ternyata klasik, Ismail dan tim masih berpatokan pada Perda lama.
Dalam keterangannya, Ismail dengan jujur bahkan polos mengaku lupa bahwa aturan sudah diperbarui.
“Kita berpatokan dengan Perda lama. Saya diskusi dengan Pak Camat, ternyata sama pedomannya masih yang lama, belum update,” ujarnya.
Kalimat yang terdengar seperti pengakuan jujur murid yang belum sempat baca revisi buku pelajaran.
Lebih jujur lagi, Ismail menduga Camat Bekasi Utara, Sumpono Brahma, juga belum mempelajari turunan regulasi terbaru.
Setidaknya, Lurah dan Camat satu suara meski sama-sama salah buku. Sebagai bentuk koreksi, Ismail berencana mengganti namanya dalam SK Panitia Pemilihan RW 21.
“Ijin nanti nama saya sebagai ketua panitia diganti dengan Pak Kasi saja,” katanya ringan.
Langkah cepat yang bisa dibilang damage control, atau kalau dalam istilah rakyat Bekasi: “mundur teratur sebelum makin ribet.”
Isu netralitas lurah sempat membuat suasana panas. Sejumlah tokoh masyarakat mempertanyakan proses pembentukan panitia dan pencalonan yang dianggap janggal.
Namun, Ismail dengan tegas menampik punya kepentingan pribadi. “Saya tidak punya kepentingan apa-apa. Bahkan saya belum begitu kenal dengan panitianya,” ujarnya.
Kalimat pembelaan yang terdengar seperti “saya cuma lewat, kok bisa dituduh ikut lomba”.
Sementara itu, Ketua Panitia Pemilihan RW, Wahya, membantah adanya pelanggaran administratif dari kandidat petahana.
“Kami punya bukti administrasi lengkap dari kecamatan,” katanya, alias: semua sudah diarsipkan, tinggal menunggu siapa yang percaya arsip itu.
Kasus Lurah Teluk Pucung ini jadi pengingat keras bagi birokrasi lokal di zaman serba digital, masih berpatokan pada Perda lama itu setara pakai Windows XP untuk ngurus Smart City.
Apalagi urusannya menyangkut demokrasi warga di tingkat RW satu tingkat di bawah surga politik Bekasi, tempat segala “rasa kuasa” mulai dirasakan.
Jika Pemkot Bekasi benar-benar menjatuhkan sanksi, semoga bukan sekadar “pembinaan formalitas”, tapi momentum agar setiap lurah, camat, dan ASN sadar regulasi itu hidup, bukan arsip nostalgia.
Dan kalau ada yang bertanya kenapa warga Teluk Pucung bisa heboh hanya gara-gara pemilihan RW, jawabannya sederhana di Bekasi, kadang pemilihan RW lebih panas dari pilkada, dan yang kalah kadang bukan cuma calon tapi juga versi perda yang sudah kedaluwarsa.***