Saat di pasar Shopping Metro, saya melihat dari kejauah satu angkot warna merah dan tidak asing lagi tengah ngetem menunggu penumpang. Saya hampiri dan melihat hanya ada satu penumpang.
Sebetulnya ingin sekali menjadi penumpang. Atau setidaknya saya carter ke Pugung Tapi saya hanya duduk dan ngobrol dengan supir yang dulu saya kenal klimis dan muda, sampai sekarang tetap setia dengan Angkot rute Metro-Pugung dengan kondisi seadanya.
Baca Juga: Kenaikan BBM dan Pemberontakan Mahasiswa
Saya ingat dulu pak Tuho saya, bernama Tayip (almarhum), warga Gunung Sugih Besar, yang berpindah tinggal di Kota Metro. Dia sopir Angkot. Hingga akhir hayatnya.
Saya tidak lagi berniat untuk berbincang dengan sopir Angkot yang saya temui di Pasar tersebut soal penumpang. Pasti jawabannya memelas. Di bagian kaca depan hanya tertulis BATIN sebagai pengenal.
Saya cermati, inilah Angkot generasi kedua. Angkot itu saat saya SMA begitu kreen dan jadi tumpuan pelajar perempuan saat pulang sekolah. Melihat tampilannya sekarang
Saya membayangkan pastilah bodi kendaraan sudah dicat berulang kali.
Kalau pun tebal, itu karena tebal dempul. Atapnya sudah berkarat. Tapi saya bangga, pengemudinya masih tetap semangat.
Bagaimana pun, saya tetap bangga. Bangga pada kebulatan hati pemilik Angkot untuk bertahan dan terus memberikan layanan jasa angkutan.
Baca juga: Aksi Viral Bagi Uang PPKM di Bandung, Ini Sumber Uang Doni
Bangga pada sopir yang bisa jadi setoran tak memadai dengan penghasilan setiap harinya. Bangga karena mampu tetap bertahan menghadapi kepungan kendaraan pribadi yang makin hari makin bertambah banyak.(wahid)












