Oleh: Yusuf Blegur
“Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”. Saat membahas dinamika politik dan pemerintahan, aksioma itu kerap terdengar melintasi waktu dan generasi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar dari sejarah dan menghargai para pahlawannya. Menjadi pertanyaan penting dan mendasar bagi negara dan bangsa ini.
Bagaimana menyikapi sejarah yang penuh kontroversi dan catatan hitam putih para pelakunya?. Pada bagian dan sisi sejarah yang mana, rakyat dapat bersandar dan berpijak?. Dapatkah obyektifitas terlepas fakta baik dan buruk yang menyertainya, dapat diungkap dengan jujur?.
Sepanjang kelahiran dan berdirinya Republik Indonesia. Negara seakan tidak berdaya bahkan untuk sekedar menulis dan merangkai sejarah berdasarkan kenyataan yang sebenar-benarnya terjadi. Rakyat dari generasi ke generasi, tidak pernah mengenyam kemurnian sejarah.
Penulisan dan pemahaman sejarah selama ini, sangat ditentukan oleh selera dan kepentingan kekuasaan yang silih berganti. Alhasil, banyak peristiwa dan tema-tema penting bersejarah menjadi pasar raya tafsir bagi rakyat pada umumnya dan generasi berikut khususnya.
Penyusunan dokumentasi sejarah menjadi sangat penting, tak kalah hebat dengan penguasaan ekonomi, politik dan hukum bagi suatu pemerintahan. Selain menentukan arah perjalanan bangsa, rekayasa sejarah mutlak dibutuhkan kekuasaan untuk menjadi tafsir dan sejarah yang menguntungkan rezim kekuasaan tertentu usai melewati jamannya. Selain mengelola kehidupan negara dan rakyatnya, serta membentuk nilai-nilai peradaban.
Kekuasaan atau suatu pemerintahan tidak bisa mengabaikan kemasan dari rangkaian perilaku dan peristiwa penting yang ditorehkannya. Sebagaimana ungkapan yang terkenal, “the winner take’s it all”. Termasuk menulis fakta atau manipulasi sejarah?.
Sejarah Hitam Pengaruh dan Kekuatan Ideologi
Sebagai sebuah negara bangsa yang majemuk. Indonesia tentu saja tak luput dari pertarungan ideologi dan aliran politik. Bukan saja telah mewarnai sejarah, faham-faham kebangsaan itu masih hadir dan menjadi realitas politik kekinian.
Meskipun begitu, betapapun tingginya dinamika internal kebangsaan, Indonesia masih kental dalam pengaruh dan determinasi kekuatan global. Setidaknya terinternalisasi ideologi kapitalisme yang liberalistik dan sosialisme Marxis.
Meskipun dunia telah melewati era perang dingin, banyak negara termasuk Indonesia belum mampu keluar dari jejak dan cengkeraman kedua kekuatan dunia tersebut. Runtuhnya Uni Soviet dan kebangkitan komunisme Tiongkok.
Dalam wujud yang lebih modern dan populis. Sejatinya kapitalisme dan komunisme masih menjadi pemain yang sama dalam dominasi dan hegemoni tata pergaulan internasional. Indonesia sendiri masih menjadi sub koordinat dari polarisasi kekuatan blok barat dan blok timur yang pernah mengelola pertarungan ideologi pada masa perang dingin.
Keadaan dunia hingga saat ini belum mengalami perubahan secara substansi terkait kedua ideologi besar itu, yang berujung pada praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme modern. Meski tampil lebih menyesuaikan jaman seiring perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi dan populasi dunia. Kedua kekuatan yang direpresentasikan oleh persaingan Amerika Serikat dan RRT beserta para sekutunya masing-masing.
Kini bertransformasi dalam “proxy war” dan perang asimetris. Indonesia menjadi negara yang tidak luput dari konstelasi itu. Pola pemerintahan yang berada dalam kekuasan oligarki dan borjuasi korporasi skala besar dan transnasional menjadi indikator bahwa negara sudah dalam pengaruh perang penguasaan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perang memperebutkan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya.
Menjadikan kekuatan baik oleh negara maupun “non state”. Membatasi ruang gerak rakyat dan menutup akses pada pengambilan kebijakan publik. Rakyat hanya dioerientasikan sebagai pasar.
Kondisi demikian memaksa pemerintah atau otoritas negara melumpuhkan demokrasi, mengebiri HAM, dan mengusung hukum yang berlandaskan kekuasan otoriterian dan kediktatoran.
Kedua ideologi kontemporer dunia itu, bukan hanya menjadikan manusia berorientasi pada materialisme. Lebih dari itu, ideologi-ideologi yang menopang liberalisasi dan sekulerisasi. Telah mencabut akar relius dari setiap pikiran dan jiwa umat manusia. Populasi dunia dipaksa mengikuti satu aturan, dimana hanya ada penguasaan dari yang kuat kepada yang lemah.
Superioritas kalangan kaya terhadap kaum miskin. Dipelbagai belahan dunia, hanya ada eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa. Menempatkan harta, kekuasan dan kebendaan lainnya, menggantikan posisi Tuhan.
Baik kapitalis dan sosialis, bercermin dari pengaruhnya pada proses penyelenggaraan kehidupan rakyat di Indonesia. Kedua ideologi besar itu terbukti gagal membangun negara kesejahteraan. Tidak mampu membangun masyarakat yang dapat memenuhi kemakmuran dan keadilan sosial. Bukannya kesejahteraan umum, kapitalisme yang rakus dan sosialisme yang atheis, justru menciptakan penderitaan dan kesengsaraan panjang rakyat Indonesia.
Bercak Darah Komunisme
Terlepas polemik sejarah dan kiprah sosialisme marxisme yang bermanifestasikan komunis. Partai Komunis Indonesia (PKI) memang menjadi salah satu kekuatan politik yang berpengaruh bagi Indonesia. Saat masih dalam koloni Belanda dan jepang, maupun setelah kemerdekaan.
PKI menjadi entitas politik yang dianggap paling progressif revolusioner. Setidaknya oleh seorang Soekarno yang menjadi pemimpin dan menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia, termasuk PKI. Kedekatan bahkan perlindungan Soekarno terhadap PKI.
Menjadi hubungan ‘simbiosis mutualisme’ diantara keduanya. PKI ingin menghidupkan Indonesia dengan ideologinya, sementara Soekarno ingin melanggengkan kekuasaan sembari menggelorakan anti kapitalisme yang menjadi induk kolonialis-imperialisme dunia. Sebuah persentuhan ideologi dan hubungan yang intim antara Soekarno dan PKI. Kemesraan hubungan yang menguatkan ambisi gagasan ‘Marcht Vorming’ Soekarno.
Sayangnya, konspirasi gerakan tanpa kelas berbasis pemikiran Karl Marx dengan nasionalis sekuler. Mendapat reaksi keras dan resistensi dari kekuatan militer khususnya angkatan darat dan kalangan Islam.
Terlebih PKI juga pernah memiliki jejak rekam yang sangat buruk dan fatal. Pernah melakukan penghianatan terhadap perjuangan dan tujuan revolusi Indonesia. Memecah organisasi Serikat Islam dengan melahirkan faham komunis dan melakukan pemberontakan tahun 1926. Bahkan saat Indonesia baru saja merdeka dan masih menghadapi kekuatan fasis yang ingin menjajah kembali. PKI melakukan pemberontakan tahun 1948. Gerakan politik dan kekuatan bersenjata yang seperti menikam dari belakang bagi kenerdekaan RI yang baru seumur jagung.
Bahkan yang paling memilukan pada saat tragedi G 30 S/PKI Tahun 1965. Apapun motif dan latar belakang peristiwanya. Betapapun peristiwa itu memunculkan multi tafsir dan asumsi konspirasi dibelakangnya. Semua pemberontakan dan penghianatan PKI yang ingin mengganti Panca Sila dan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.
Bukan saja polarisasinya mengorbankan elit politik, militer dan pemimpin bangsa. Lebih tragis lagi, gerakan PKI telah memicu konflik, membuat konfigurasi dan irisan politik yang mengakibatkan korban rakyat tak berdosa. PKI menimbulkan permusuhan, konflik dan perpecahan sesama anak bangsa. Bahkan, hingga menyebakan kematian rakyat yang tak terhingga. Peristiwa 1965 dan relasinya dengan PKI, menjadi salah satu tragedi kemanusiaan paling besar pada abad 20.
PKI menjadi partai terlarang dan dianggap negara sebagai bahaya laten. Gerakan ideologi yang tak pernah mati. Tanpa bentuk dan menjalar ke segala lini.
Kini, 65 tahun setelah peristiwa 65. Suasana yang jauh dari nilai-nilai Panca Sila dan implementasi UUD 1945. Kehidupan bernegara dan berbangsa yang semakin jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan. Rakyat Indonesia seperti kembali kepada masa-masa pertentangan ideologi dan politik seperti menjelang terjadinya peristiwa G 30 S/PKI. Kehidupan rakyat morat-marit, sementara para pemimpin sibuk mengurus jabatan dan memperkaya diri. Disintegrasi sosial semakin menganga lebar. Sikap permusuhan dan kebencian mewarnai hampir seluruh lapisan masyarakat.
Penguatan Komunis juga disinyalir dengan maraknya kebijakan politik dan penggunaan aparatur negara yang bertindak represif dan cenderung memusuhi pemimpin dan umat Islam. Kriminalisasi Ulama dan umat Islam terus meningkat sejalan dengan pembiaran tindakan-tindakan penistaan dan penodaan agama Islam oleh kalangan tertentu.
Mungkinkan selain kemiskinan dan ketidakadilan yang terus tajam meroket dalam kehidupan masyarakat. Penindasan dan upaya destruktif terhadap pemimpin dan umat Islam, menjadi siklus sejarah yang berulang dari kebangkitan komunis yang sangat anti Islam?.
Rasanya, seperti Amerika Serikat dan China yang kepentingannya terhadap Indonesia begitu besar.
Ideologi kapitalis dan komunis, keduanya sama-sama menganggap Islam adalah kekuatan yang besar yang menjadi musuh utama dan penghalang tujuan mereka.
Jika saja para komprador dan agen kapitalis-komunis itu ada di Indonesia. Terutama ketika mereka berwujud politisi, birokrat, pengusaha bahkan sebagai ulama sekalipun. Mereka semua akan berkata tidak menginginkan populisme Islam berkembang luas. Mereka akan menyuruh ketaatan pada konstitusi ketimbang syariat Islam. Islam akan dianggap bertentangan dengan PancaSila dan sebagai penghambat kemajuan negara. Mereka akan menyuruh menjadi warga negara yang baik pada negara daripada mengamalkan nilai-nilai Islam. Mereka akan terus membangkitkan bagaimana rakyat hidup memisah relasi negara dari agama.
Tentu saja dengan terus-menerus melakukan penangkalan aqidah umat Islam. Menyelimuti pikiran dan jiwa umat Islam dengan liberalisasi dan sekulerisasi. Akankan Indonesia akan kembali ke titik nadir seperti pada periode kelam dan hitamnya?. Mungkinkah akan ada tragedi kemanusiaan dan banjir darah yang lebih besar lagi?.
Saatnya membuka mata hati dan pikiran. Sembari mengendus bau amis komunis.
Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari