Scroll untuk baca artikel
Budaya

Nada dari Tangan Perempuan: Bebay Butabuh dan Detak Budaya Lampung

×

Nada dari Tangan Perempuan: Bebay Butabuh dan Detak Budaya Lampung

Sebarkan artikel ini
Ratusan perempuan (bebay) peserta Bebay Butabuh dari 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung menampilkan kemampuan terbaiknya dalam ajang Festival Bebay Butabuh 2025, bagian dari rangkaian Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) IV Provinsi Lampung, Kamis (23/10/2025).- foto doc

BANDAR LAMPUNG – Suara gamolan, talo balak, dan tawa para bebay (perempuan) memenuhi Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Kamis (23/10/2025). Di atas panggung, bukan sekadar denting bambu dan tabuhan kayu yang bergema tapi denyut nadi budaya yang menolak punah di tengah bisingnya sound system politik dan konser kapitalisme modern.

Festival Bebay Butabuh 2025 bukan hanya tentang siapa yang juara, tapi siapa yang masih mau menabuh ketika sebagian generasi sibuk men-scroll hidupnya di TikTok.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Bebay Butabuh bukan sekadar ajang lomba tabuh-menabuh, ini festival eksistensi. Saat dunia berdebat soal kecerdasan buatan, Lampung menghadirkan kecerdasan alami perempuan yang menyalakan kembali nyala budaya dengan tangan dan hati.

“Festival ini bukan lomba, tapi momentum memperkuat identitas budaya Lampung,” ujar Thomas Amirico, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, yang mewakili Gubernur Rahmat Mirzani Djausal.

Bahasanya diplomatis, tapi pesannya sederhana jangan biarkan budaya hanya jadi hiasan seremoni, lalu ditinggal begitu saja setelah foto bersama.

Thomas juga mengingatkan, pakar budaya makin sedikit, seperti kaset pita yang tersisa satu dua di rumah nenek. Karena itu, regenerasi harus segera dilakukan bukan dengan rapat, tapi dengan aksi.

Ketua Dewan Kesenian Lampung, Prof. Satria Bangsawan, menyebut peran perempuan dalam budaya Lampung itu vital. “Dari tangan bebaylah nilai-nilai seni diwariskan kepada anak-anak,” ujarnya.

Kalimat yang, kalau diterjemahkan secara bebas, berarti: kalau ibu sibuk main TikTok, jangan salahkan anak kalau lupa gamolan.

Satria menambahkan, 287 peserta dari seluruh Lampung diseleksi menjadi 205 peserta terbaik. Jumlah yang cukup membuktikan, di tengah budaya global yang semakin seragam, masih banyak perempuan Lampung yang memilih menabuh alat musik sendiri ketimbang ikut trending challenge.

Dan ide “experience marketing budaya” yang dilontarkannya terdengar segar: Bayangkan jika Bandara Raden Intan menyambut wisatawan bukan dengan suara pengumuman delay, tapi dengan alunan gamolan dan aroma seruit. Inilah soft power ala Lampung pelan, tapi mengena.

Ketua TP PKK Provinsi Lampung, Purnama Wulan Sari Mirza, tak sekadar memberi sambutan. Ia ikut menyanyikan lagu “Payu Kidah” di depan peserta. Sebuah pemandangan yang langka di zaman di mana pejabat lebih sering “membuka acara” dengan gunting pita ketimbang membuka suara.

“Festival ini bukti bahwa perempuan punya peran setara dalam memajukan budaya,” katanya.

Kalimat yang bukan hanya manis di podium, tapi menggugah realita: di banyak tempat, pelestarian budaya memang sering jatuh di tangan ibu-ibu mereka yang menjaga bahasa, pakaian, dan lagu daerah dari ancaman “dianggap jadul.”

Purnama Wulan juga menekankan, sebelum berharap budaya Lampung mendunia, mari pastikan ia hidup di rumah sendiri. “Bandara, hotel, hingga pusat kuliner harus jadi ruang hidup budaya Lampung,” ujarnya.

Kalau wisatawan yang datang ke Lampung disambut musik EDM di lobi hotel, bagaimana mereka tahu daerah ini punya gitar klasik dan tari nyambai?

Bebay Butabuh bukan hanya tentang alat musik, tapi tentang filosofi. Tentang bagaimana perempuan Lampung menjadi jantung dari budaya yang menabuh bukan sekadar irama, tapi juga pesan, bahwa kemajuan tak harus menghapus akar.

Dan mungkin, di tengah dunia yang semakin gaduh, suara tabuhan bebay Lampung adalah salah satu nada paling waras yang tersisa: nada yang mengingatkan bahwa modernitas tanpa akar budaya hanyalah kebisingan yang tak punya makna.***