Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Tulisan ini tidak hendak membahas perseteruan pemain naturalisasi vs coach STY. Hingga berujung STY dipecat itu. Tidak membahas betapa sedihnya para suporter diceraikan dari STY pada saat “sedang sayang-sayange”. Begitu istilah fans penyanyi Jawa, Denny Cak Nan. Artinya dipisah pada saat puncak saling menyukai.
Tidak pula membahas perlunya Eric Tohir (ETO) diberi kebebasan menjalankan agendanya. STY merupakan pelatih warisan pengurus sebelumnya. Belum tentu cocok dengan ambisi ETO.
ETO bukan “balita” dalam bola. Ia pebisnis bola global. Bukan hanya melek bola, melainkan melek bisnis bola. Tentu namanya tidak hanya ingin dijadikan pajangan sebagai pernah menjadi ketum PSSI. Ia punya ambisi terhadap prestasi Timnas.
Ia tau caranya sebuah tim sepakbola berprestasi. Ketika perjalanan menuju world cup tidak meyakinkan. Ruang ganti pemain melakukan “pemberontakan”. Ia ambil sikap cepat. Ganti pelatih. Walau STY juga tidak buruk prestasinya.
Kita tidak membahas isu itu. Isu yang saat ini sedang membara. Sebagai buntut dipecatnya STY. Disusul kedatangan Patric Kluivert sebagai pelatih timnas yang baru. Kita membahas sisi lain dari naturalisasi pemain timnas. Makna naturalisasi dalam bingkai sejarah kebangsaan kita.
Indies. Itu bukan istilah biasa dalam strata sosial tanah Hindia Belanda pada akhir abad 19. Merupakan salah satu buah kebijakan segregatif pemerintah Hindia Belanda. Untuk menciptakan tertib hukum kolonial, dikeluarkanlan Regeringsreglement atau Undang-undang Administrasi Hindia pada tahun 1854.
Strata sosial masyarakat dibedakan menjadi tiga. Europeanen (orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (pribumi).
Prateknya lebih rumit dari itu. Ada trekkers: ekspatriat. Orang Eropa yang segera pulang ke Eropa ketika tugas kerjanya selesai. Ada blijvers: orang Eropa yang membaur dengan pribumi. Seperti menikah dengan pribumi. Melahirkan orang Belanda berdarah campuran.
Disebut Indies, Indo. Tapi bagi kaum pribumi, sebutan Indo itu digunakan secara general. Baik pada orang berdarah “Belanda totok” maupun Belanda campuran.
Pembauran itu melahirkan segregasi sosial yang tidak sederhana. Orang-orang Belanda darah murni, “Belanda totok” merasa strata sosialnya lebih tinggi daripada kaum Indies (berdarah campuran). Bahkan tempat tinggal juga dibedakan antara “Belanda totok” dengan Indies itu. Termasuk kapling dalam profesi/pekerjaan.
Maka dari itu muncullah Indische Partij dengan pengurus diantaranya: Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, Tjipto Mangun Kusumo. Melawan segregasi itu. Mereka mempromosian sebutan Indie atau Indiers.
Bagi penduduk yang bertempat di Hindia Belanda. Tidak ada segregasi antara “Belanda totok”, maupun Indies (Belanda campuran). Gerakan kesetaraan ini dibungkam oleh pemerintah Hindia Belanda.
Masuknya Jepang membuat Indies, Indo, menderita. Dijebloskan kamp konsentrasi. Pada saat Jepang kalah perang, Indonesia melawan masuknya Belanda. Pribumi mencurigai siapa saja yang menyerupai Eropa, Belanda, dianggap bagian penjajah Belanda. Tak terkecuali Indies. Periode 1945-1965 terdapat 300.000 orang Belanda, Indo, atau orang Pribumi pro Belanda memilih migrasi ke Belanda. Prosesnya higga mencapai 5 tahap. Termasuk tahap kelima lahir UU Kewarganegaraan untuk memilih:Naturalisasi atau kembali ke Belanda.
Orang Indies dalam posisi terjepit. Di Belanda dianggap sebagai strata bawah. Tidak memiliki darah Belanda murni. Di Indonesia dianggap kolaborator penjajah.
Kini ada naturalisasi pemain bola. Peristiwanya sudah lama dari era segregasi sosial itu. Keturunan Indies itu pulang ke tanah leluhurnya. Tanah orang tuanya dilahirkan. Tidak dengan persepsi sebagai bagian penjajah. Melainkan melalui pembuktian kesetiaan nasionalisme. Sebagai pejuang pembela timnas negaranya.
Ada peristiwa lain. Usai proklamasi kemerdekaan RI 1945, KNIL (pasukan Belanda) didemobilisasi. Tanggal 25 April 1950, orang-orang Maluku yang tetap setia Belanda mendeklarasikan RMS (Republik Maluku Selatan). Konsekuensi kekalahan Belanda, orang-orang ini (pendukung RMS) dibawa ke Belanda. Jumlahnya 12.500 orang.
Pada tahun 1970, kunjungan Presiden Soeharto menemui perlawanan RMS di Belanda. Kunjungan itu ditunda. Presiden Soeharto kemudian datang dengan dikawal kesiagaan 5000 tentara kerajaan Belanda. Pesawat kepresidenan RI dikawal 8 jet Belanda.
Tipe pesawat pemburu 110-G Star Fighter. Sementara rencana kunjungan Presiden SBY pada Oktober 2010 ditunda. Juga oleh ancaman RMS. Tanda RMS masih hard feeling dengan pemerintah Indonesia.
Naturalisasi kaum Indies, Belanda keturunan, bisa menjadi terapi luka sejarah itu. Luka sejarah oleh segregasi sosial kebijakan pemerintah kolonial Belanda maupun pilihan politik untuk setia pada pemerintah kolonial Belanda. Pilihan politik untuk memisahkan dan memusuhi pemerintah Indonesia.
Naturalisasi timnas Bola bisa membuka kesadaran bersama: Indonesia merupakan tanah harapan masa depan. Peradaban Eropa mengalami declining. Membela tanah leluhur Nusantara merupakan pilihan realistis.
Sparatisasi atas tanah nusantara itu bukan lagi impian realistis. Saatnya bersatu padu. Bergandeng tangan memajukan Nusantara. Tanah leluhur.
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jakarta, 11-01-2025