Kasus ini akhirnya terungkap karena korban anak berani memberontak dan melaporkan perbuatan pelaku kepada salah seorang kerabatnya.
“Saat ini ada satu korban anak yang melapor. Apabila masih ada korban anak asuh lainnya di Panti Asuhan tersebut, kami harapkan untuk berani bicara dan melapor,” kata Nahar.
Polres Bitung bertindak cepat menangkap terduga pelaku, dan juga telah melakukan visum et repertum terhadap korban anak serta menyita barang bukti ponsel.
“Kemen PPPA akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, mulai dari proses hukum hingga reintegrasi sosial korban ke lingkungan masyarakat. Proses pemulihan korban sangat perlu dan menjadi perhatian serius kami dan mendesak hukuman tegas terhadap pelaku atas tindakan kejahatannya,” tegas Nahar.
Nahar mendesak lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama, atau lembaga pengasuhan wajib melakukan pencegahan dan pengawasan perlindungan anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual.
Masyarakat dan instansi yang berwenang diharapkan turut melakukan pengawasan, serta orang tua juga diharapkan tidak melepaskan anak sepenuhnya dalam pengawasan pendidik, namun bertanggung jawab memberikan perhatian dan memantau perkembangan anak.
Pelaku diduga melanggar Pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014 dan dengan ancaman hukuman sesuai Pasal 82 ayat 1, 2, 5, 6 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU jo. Pasal 64 KUHP, dengan ancaman hukuman paling lama 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Korban kekerasan seksual berhak mendapatkan ganti rugi dalam bentuk restitusi dari pelaku sesuai UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang penialainnya dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terkait dengan kerugian atas penderitaan yang berkaitan langsung, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau kerugian lain yang diderita korban akibat kekerasan seksual (Pasal 30).