WAWAINEWS.ID – Sejumlah pihak masih belum beranjak dari narasi pilpres 2024. Bahkan belum menerima kenyataan proses itu telah diputus MK (Mahkamah Konstitusi). Juga telah ditetapkan KPU.
Para pemain utama pilpres telah menyusun agenda-agenda baru. Memperebutkan target-taget baru. Akan tetapi masih ada saja yang memperdebatkan argumen-argumentasi lama pilpres. Seakan proses ini masih berlangsung.
Keterlambatan sejumlah pihak beranjak dari pilpres, ibarat respons delay mencerna lelucon sebuah lawakan atau stand up comedy.
Para penonton sudah lama aplaus dan tertawa terbahak-bahak atas lontaran kelucuan para pelawak/komedian. Ada saja sebagian orang terlambat menyadari adanya kelucuan itu.
Mereka tertawa sendirian ketika penonton lain sudah berhenti tertawa. Peristiwa ini menjadi kelucuan tersendiri bagi penonton yang lain.
Pertanyaan besarnya tentu saja pada esensi peristiwa. Jika pilpres diyakini sebagai instrumen pembuka pintu perubahan. “Person” atau “sistem” penentunya?.
Person atau kapabailitas orang, tidak akan bisa membuat perubahan ketika tidak didukung dengan sistem yang baik. Walaupun baik tidaknya sistem juga ditentukan oleh person-person yang baik.
Sedangkan sistem yang baik, akan mengantarkan pada kondisi menjadi lebih baik, siapapun person yang mengisinya.
Sejumlah pihak menarasikan figur capres tertentu sebagai garansi perubahan. Maka fokusnya terletak pada urusan menang kalah kontenstasi kepemimpinan nasional dalam mengusung figur.
Jika figur itu kalah, pintu perubahan dianggap tertutup.
Cara pikir dengan meletakkan perubahan hanya pada person tunggal, menandakan kedangkalan orientasi. Ketulusan orientasi kebangsaannya rendah.
Bisa juga narasi perubahan itu hanya sebagai kedok dari orientasi pragmatis ambisi kekuasaan. Tidak tulus hendak membuat perubahan.
Patut disayangpan pula jika gegap gempita gerakan kritis civitas akademika terjebak atau dibajak sebagai justifikasi ambisi pragmatis itu. Bukan ketulusan perubahan.
Pilpres merupakan ajang kontestasi new hope. Harapan-haraan baru. Melalui konsep-konsep baru pengungkit perubahan.
Kontestasi pilpres menjadi autokritik kebangsaan. Untuk menguak kelemahan dalam berbangsa dan bernegara. Untuk kemudian diketemukan solusinya.
Maka banyak ide dan isu bertarung dalam pilpres. Menandakan adanya kebutuhan-kebutuhan prioritas yang harus dijawab dalam proses berbangsa dan bernegara. Pilpres bukan semata-mata proses penemuan figur kepemimpinan belaka.
Tantangan pasca pilpres adalah perbaikan sistem. Atas keresahan-keresahan kebangsaan yang men/di-cuatkan selama pilpres.
Seharusnya agenda ini menjadi fokus utama pasca pilpres. Bukan terjebak pada memori ambisi kekuasaan pada sosok person.
Stabilitas pembangunan terencana, sistematis, berkelanjutan merupakan salah satu isu pilpres yang banyak diperdebatkan. Melalui jargon “keberlangsungan vs perubahan”. Efektifitas pemberantasan korupsi juga mencuat.
Netralitas aparat. Termasuk isu nepotisme. Isu-isu itu harus direspon melalui penyempurnaan sistem. Siapapun person (figur) kepemimpinannya, jika sistem tidak diubah, bangsa ini juga akan tetap terjerat oleh problem laten itu.
Perbaikan sistem merupakan agenda mendesak untuk segera diwujudkan. Bukan berputar-putar pada kubangan ambisi pada sosok person.
Seluruh energi bangsa perlu difokuskan untuk agenda-agenda perubahan yang sesungguhnya. Bukan dihabiskan melalui ilusi perubahan dengan kedok ambisi person.
ARS (rohmanfth@gmail.com), 02-04-2024.***