Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS-ID – Pesantren NU memiki peran strategis dalam lanskap sosial-keagamaan Indonesia. Dikenal sebagai pesantren salaf atau salafiyah. Beda dan tidak ada kaitan dengan manhaj salafi-wahabi.
Ialah lembaga pendidikan Islam yang masih mempertahankan sistem dan metode pengajaran klasik. Sebagaimana diwariskan ulama-ulama terdahulu (ulama salaf).
Ciri-cirinya kurikulum berbasis kitab kuning (kitab turats). Kitab-kitab klasik berbahasa Arab karya ulama abad pertengahan. Menggunakan sistem sorogan (santri membaca di depan kiai, dikoreksi kiai) dan bandongan kiai membaca dan menerjemahkan kitab, santri menyimak dan memberi makna).
Pesantren NU merupakan pilar terpenting pembentukan karakter, spiritualitas, dan intelektualitas bangsa. Tempat disemaikannya nasionalisme sejak jauh sebelum kemerdekaan. Di sini ketahanan mental-spiritual-intelektual ditempa. Jauh dari kemewahan fasilitas. Cendekiawan Muslim Dr. Nurcholish Madjid suatu ketika menyebut: santri pewaris sah nasionalisme Indonesia.
Pada rentang era tertentu, raja-raja Jawa bahkan dikader di Pesantren. Di Tegalsari Ponorogo.
Pesantren bukan entitas tunggal dengan karakter seragam. Ia ekosistem sosial, pendidikan, dan spiritual yang kompleks. Memadukan tradisi, kearifan lokal, dan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Dibalik peran besar itu kini muncul beragam isu, tudingan dan framming negatif. Terakhir dipicu ambruknya bangunan pesantren Al-Khoziny Sidoarjo.
Tudingan-tudingan itu seringkali lahir dari ketidaktahuan, kesalahpahaman. Bahkan kecemburuan sosial dan ideologis.
Salah satu tudingan paling sering: pesantren bersifat feodalistis. Terdapat sistem penghormatan tinggi kepada kiai dan pengasuh. Masyarakat luar menganggap “feodal”. Tradisi pesantren mengenalnya: tawadhu’ (kerendahan hati) dan adab terhadap guru.
Pandangan Islam klasik menganggap penghormatan kepada guru bukan bentuk perbudakan sosial. Melainkan bagian dari etika keilmuan. Sebagaimana maqolah (ungkapan bijak) ulama: “Man lam yata’addab lam yata’allam”. “Siapa yang tidak beradab, tidak akan memperoleh ilmu.”
Kini banyak pesantren justru menerapkan manajemen modern, partisipatif, dan transparan tanpa kehilangan nilai tawadhu’.
Tuduhan lain: pesantren “mesin bisnis”. Realitasnya sebagian besar pesantren tumbuh dari swadaya. Tanpa bantuan besar dari negara atau lembaga donor. Pesantren klasik sering kali beroperasi dengan fasilitas sederhana, beras dari donatur warga, dan sistem subsidi silang antar santri.
Dua dekade terakhir muncul fenomena pesantren mandiri. Mengembangkan unit-unit usaha: koperasi, pertanian, percetakan, atau minimarket. Sebagai strategi survival dan pemberdayaan ekonomi santri serta masyarakat sekitar. Data Kementerian Agama (2023): dari sekitar 37.000 pesantren di Indonesia, lebih dari 40% telah memiliki unit usaha produktif. Sebagian besar berbasis ekonomi mikro.
Juga ada tudingan: pesantren atau kiai “kolaborator kekuasaan”. Menegasikan realitas relasi pesantren dengan negara memiliki akar historis panjang. Sejak masa perjuangan, pesantren menjadi basis perlawanan terhadap kolonialisme.
Pertemuan antara kiai dan pejabat tidak selalu bermakna politis. Melainkan bagian dari komunikasi sosial, pembinaan moral, dan sinergi pembangunan umat.
Tudingan lainnya adalah tradisi pemberian (hadiah, sedekah, atau “berkat”) kepada kiai. Sebagian kalangan luar menilainya sebagai bentuk “kultus” atau “eksploitasi spiritual”. Padahal dalam konteks pesantren dan masyarakat santri, praktik ini memiliki makna teologis dan sosial yang dalam.
Dalam pandangan masyarakat pesantren, kiai bukan sekadar figur religius. Ia mujahid (pejuang agama) yang mengabdikan seluruh hidupnya -24 jam tanpa henti-. Mendidik santri, memimpin pengajian, menuntun masyarakat, dan membimbing umat.
Kontribusi total ini tanpa gaji formal atau jaminan material. Maka, pemberian masyarakat kepada kiai bukan bentuk transaksi ekonomi. Melainkan partisipasi spiritual dalam perjuangan agama. Tradisi ini sejalan dengan prinsip Islam: ta‘āwun ‘alal birri wat taqwā — saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan (QS. Al-Māidah: 2).
Pesantren bukan institusi sempurna. Akan tetapi kontribusinya terhadap Indonesia tidak bisa diabaikan. Lebih seribu tahun peradaban Islam di Nusantara, pesantren telah membuktikan diri sebagai “laboratorium kebangsaan”. Tempat di mana keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan menyatu dalam harmoni.
Kesederhanaan fasilitas pesantren tidak boleh dijadikan alasan membiarkan mereka berjuang sendiri. Apalagi dengan mendeskreditkan.
Banyak pesantren khususnya yang telah berdiri ratusan tahun merupakan lembaga pembangun dan perawat peradaban Indonesia. Dari pesantren-pesantren inilah lahir pejuang kemerdekaan, ulama pendiri bangsa, dan pendidik generasi penerus.
Selayaknya negara hadir secara lebih konkret membantu Pesantren Salaf. Terutama dalam perbaikan sarana prasarana sekolah dan asrama.
Kita harusnya malu ketika mencurigai lembaga ini. Kontribusinya sudah sangat besar untuk bangsa dan negara. Sudah sepantasnya negara merawat sebaik-baiknya.
Tentu saja peristiwa-peristiwa kriminal seperti kasus pelecehan seksual terhadap santri, tindak kekerasan (jika ada), harus ditertibkan secara hukum. Agar keluhuran pesantren terjaga. Dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com).***