KOTA BEKASI – Pengadaan di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi mendapat sorotan. Kali ini, proyek Pembangunan Rumah Dinas Wakil Wali Kota Bekasi senilai Rp4,35 miliar menjadi bahan obrolan serius bahkan sarkastik di kalangan aktivis dan pemerhati kebijakan publik.
Pasalnya, proyek bernilai miliaran itu justru dimenangkan oleh perusahaan yang baru lahir enam bulan lalu. Kalau perusahaan bisa tumbuh secepat ini, mungkin Pemkot Bekasi layak membuka kursus kilat jadi kontraktor sukses.
Ketua DPC LSM Forkorindo Bekasi Raya, Herman Sugianto, menyebut proses lelang proyek tersebut penuh kejanggalan.
Menurutnya, Kepala Bagian Pengadaan Barang/Jasa Pemkot Bekasi layak dievaluasi bahkan dicopot karena diduga tak memahami aturan dasar dalam persyaratan kualifikasi teknis lelang.
“Bagi usaha kecil yang baru berdiri kurang dari tiga tahun, boleh tanpa pengalaman hanya untuk proyek maksimal Rp2,5 miliar. Tapi ini kok bisa menang proyek Rp4,3 miliar? Logika dan regulasi kayaknya dicampur kopi, dikocok, terus disajikan tanpa takaran,” ujar Herman dengan nada menohok, Selasa 7 Oktober 2025.
Proses pascakualifikasi yang ditayangkan di LPSE Kota Bekasi pada 30 Juli 2025 dinilai cacat prosedur sejak awal. Pemenangnya, PT Putra Bumen Abadi, diketahui baru berdiri pada Maret 2025. Namun entah karena hoki, rekomendasi, atau faktor “koneksi”, perusahaan ini langsung melesat menjuarai tender miliaran.
Tak berhenti di situ. Herman juga menyoroti indikasi rangkap jabatan dalam tubuh perusahaan pemenang tender. Berdasarkan data LKPJ Online, tercatat Krisno Febriyanto menjabat sebagai Komisaris sekaligus Tenaga Ahli dengan subklasifikasi SI01.
“Ini bukan multi-talenta, tapi multi-konflik. UU Nomor 5 Tahun 1999 dengan jelas melarang rangkap jabatan yang bisa menimbulkan praktik monopoli,” tegas Herman, mengutip Pasal 26 undang-undang yang dimaksud.
Sebagai pengingat, pelanggaran terhadap aturan itu bisa berujung sanksi berat dari KPPU, mulai dari pembatalan kontrak hingga denda maksimal Rp25 miliar. Angka yang, secara ironis, lebih besar dari nilai proyek yang dimenangkan.
Forkorindo juga menilai lemahnya pemahaman teknis pejabat pengadaan dan kelalaian pihak-pihak terkait mulai dari KPA, PPK, hingga PPTK di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Kota Bekasi — membuka celah penyalahgunaan kewenangan.
“Ada unsur pembiaran dan ketidakhati-hatian. Kalau mereka bilang gak tahu, ya artinya bukan hanya proyeknya yang gagal, tapi prosesnya juga gelap,” sindir Herman tajam.
Forkorindo mendesak Wali Kota Bekasi untuk bersikap tegas dan segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pejabat pengadaan.
Jika tidak ada langkah konkret, pihaknya siap melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan aparat penegak hukum.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi bisa berdampak hukum. Proyek Rp4 miliar ini bisa jadi fondasi masalah baru, bukan rumah dinas yang megah,” pungkas Herman dengan gaya setengah serius.
Kasus ini menambah daftar panjang lelang proyek daerah yang lebih beraroma politik ketimbang prosedur.
Dari luar tampak formal, dari dalam terdengar harmoni yang rancu: antara “proses sesuai aturan” dan “aturan yang disesuaikan proses.”
Apakah pengadaan di Bekasi ini masih berbasis sistem, atau sudah berubah jadi “sistem kekeluargaan berorientasi hasil akhir”?
Yang pasti, jika perusahaan baru bisa menang proyek miliaran dalam hitungan bulan, mungkin BUMN perlu belajar dari Bekasi bagaimana cara start-up lokal langsung jadi pemenang tender.***