JAKARTA – Gelombang amarah rakyat kembali pecah. Kali ini, sasaran massa bukan sekadar kantor pemerintahan, melainkan rumah para figur publik: Menteri Keuangan Sri Mulyani, selebritas Uya Kuya, hingga komedian Eko Patrio.
Ketiganya jadi “korban penjarahan berjamaah” saat ribuan orang meluapkan frustrasi akibat krisis ekonomi yang kian menyesakkan. Ironisnya, rumah yang biasanya jadi simbol kemapanan, mendadak berubah seperti panggung open house tanpa undangan.
Sebelumnya massa juga menjarah rumah Ahmad Sahroni anggota DPR RI yang sempat melontarkan pernyataan kontroversi dengan menyebut “rakyat tolol sedunia”.
Dari Kantor Pajak ke Rumah Menkeu
Massa pertama kali menggeruduk kediaman Sri Mulyani. Wajar saja, namanya identik dengan pajak yang belakangan dianggap mencekik rakyat. Kalau dulu pajak ditagih lewat kantor, kini rakyat “menagih balik” langsung ke alamat rumah.
Beberapa orang terdengar berteriak:
“Bu, katanya pajak sama dengan zakat? Nah, sekarang zakatnya bagi-bagi dong!”
Barang-barang pun raib, dari perabot mewah hingga koleksi buku ekonomi yang katanya lebih tebal dari dompet rakyat.
Reality Show Dadakan di Rumah Uya Kuya
Tak puas di situ, massa bergeser ke rumah Uya Kuya. Kalau biasanya rumah artis ini dipenuhi kamera untuk reality show, kali ini yang hadir justru kamera warga dan live streaming media sosial.
Seorang warga nyeletuk:
“Biasanya Uya nge-prank orang, sekarang rumahnya yang diprank rakyat!”
Lemari, televisi, bahkan aquarium ikut jadi rebutan. Sayang, ikannya nggak ikut viral, mungkin karena nggak ada akun TikTok.
Lawakan Pahit di Rumah Eko Patrio
Rumah Eko Patrio pun tak luput dari sasaran. Komedian sekaligus politikus ini biasanya bikin orang tertawa, tapi kali ini malah jadi bahan tawa getir.
Massa menyindir:
“Bang Eko, komedinya udah habis, sekarang giliran rumahnya yang diambil alih!”
Sofa empuk, meja makan, sampai lukisan-lukisan ikut diangkut. Barangkali rakyat ingin tahu, apakah kursi DPR seempuk sofa rumah Eko.
Antara Lapar dan Amarah
Penjarahan tiga rumah ini lebih dari sekadar kriminal. Ia adalah satir sosial, potret rakyat yang sudah terlalu lama dibebani harga mahal, pajak mencekik, dan janji politik yang tak kunjung ditepati.
Jika dulu tontonan rakyat adalah sinetron dan reality show, kini tontonan itu nyata di jalanan: rumah pejabat, artis, dan politisi jadi panggung pelampiasan.
Krisis memang bisa mengubah segalanya: dari rapat ekonomi jadi rapat akbar di jalan, dari talkshow televisi jadi talkshow terbuka dengan rakyat sebagai pembawa acara.***