Scroll untuk baca artikel
Budaya

Tradisi “Melaman” di Sekappung Limo Migo, Memudar

×

Tradisi “Melaman” di Sekappung Limo Migo, Memudar

Sebarkan artikel ini

LAMTIMTradisi ‘Melaman’ yang unik-distingtif di wilayah Sekampung Limo Migo, Kabupaten Lampung Timur kian memudar. Orang dulu kerap menyebutnya sebagai malam likuran pada  sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadan.

Tradisi malam likuran adalah sebuah tradisi lama masyarakat asli Lampung di beberapa Kampung tua yang telah ratusan tahun dihuni secara turun temurun setiap menyambut sepuluh hari terakhir bulan puasa di enam tiyuh kecamatan Kecamatan Sekampung Udik dan Marga Sekampung.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Masyarakat Islam Sekampung Limo Migo biasa  meramaikan bulan Ramadan dengan cara menyalakan obor, lilin lampu cangkok/colok, tepatnya di malam ganjil di sepertiga terakhir di bulan Ramadan. Dulu sepuluh hari terakhir adalah waktu yang di tunggu anak-anak, mereka bersuka ria menyambut Melaman untuk bermain di halaman rumahnya, main petasan, tikuman dan lainnya.

Istilah sepuluh hari terakhir di bulan suci ramadhan lazim di sebut Melaman dan Petan. Melaman atau malamman artinya tepat pada malam ganjil (likuran) malam tersebut dipercaya sebagian warga Kampung bahwa roh orang tua pulang untuk melihat suasana keluarga di rumah.

BACA JUGA :  Wamenag, Imbau tak Ziarah Kubur

Sementara ‘Petan’ istilah nama pengganti malam yang besoknya tanggal genap tahun Hijriyah. Malam petan tidak ada obor, lampu dan lainnya petan dikenal gelap, setelah pulang solat taraweh.

Tidak diketahui secara pasti kapan dan siapa yang memulai tradisi malam likuran ini di Sekappung Limo Migo. Namun, uraian Hamka (1982) mengenai penyalaan api di malam likuran adalah simbol petunjuk hidayah Islam yang diajarkan oleh Syekh ‘Ainul Yaqin atau yang lebih dikenal dengan Sunan Giri. Pelita-pelita itu pada mulanya dipasang di Masjid Giri.

Terlepas dari belum ditemukannya data-data sejarah terkait dengan awal mula tradisi likuran ini, yang pasti, jika dilihat dari segi pelaku yang merayakan tradisi ini adalah bagian dari tradisi masyarakat Islam di Indonesia.

BACA JUGA :  Gubernur: Dari 718 Bahasa Daerah, Hanya ada 12 Aksara Termasuk Lampung

Pada masyarakat Sekappung Limo Migo sepertiga akhir Ramadhan menjadi masa istimewa. Ada tradisi atau budaya unik yang dilakukan masyarakat menjelang malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan suci ramadhan ramadhan lazimnya disebut ‘Maleman’ di waktu likuran.

Dimalam ganjil mulai tanggal 21 Ramadhan, 23, 25, 27 dan 29 Ramadhan adalah malam yang ditunggu untuk dapat berjumpa dengan malam Lailatul Qodar, malam yang labih baik dari seribu bulan.

Hidangan secara sukara  dihantar ke langgar (Mushalla) misalnya kue pisang aduk, lepet, kue akar kelapa, dan lainnya. malam ke 27 dan 29 ramadhan juga dilakukan oleh masyarakat kampung.

“Sekarang jaman serba canggih. Kemajuan iptek yang luar biasa menggeser tradisi Maleman, anak sekarang tidak mengenal makanan. Mereka tidak melihat nyala obor, di depan rumah atau lampu petromaks yang dikerumuni beragam binantang malam,”ungkap Djasit seraya mengatakan kunang kunang itu sudah tak ada lagi.

BACA JUGA :  Hadir dengan tema “Light: Sufism and Humor”

Pemuda Kampung, setelah makin berkurangnnya orangtua, sebagai tokoh yang memegang adat tradisi meninggal, kaum milenial kehilangan obor kebudayaan.

“Tradisi maleman yang memiliki nilai moral sangat tinggi, silaturahim, kekeluargaan, gotong royong dan nilai religi makin terkikis oleh kemajuan jaman,”tukasnya.

Kemajuan teknologi menggeser peradaban yang memiliki nilai sangat tinggi tersebut. Djasit berharap, generasi muda, kaum milenial kembali menengok jatidiri nenek moyang, para leluhur dan tokoh-tokoh adat masyarakat Sekappung Limo Migo.

Diakuinya memang sulit dilakukan. Namun bukan berarti tidak dapat mengembalikan kemasyhuran tradisi tersebut. Tugas budayawan adalah mengembalikan dan terus memelihara, merawat, menjaga, melestarikan dan mengembangkan kultur tradisi yang makin hilang tersebut.

Teknologi mengebiri keraifan lokal. Gadget menggantikan budaya santun, tegur sapa personal nyata menjadi tegur sapa digital dunia maya. Siapa yang harus disalahkan? Tentu saja manusia yang harus pandai mengekplotisi peradaban dan kemajuan tersebut.(*)