BANDAR LAMPUNG – Universitas Bandar Lampung (UBL) kembali menggelar Program Pengenalan Kampus (PPK) untuk mahasiswa baru tahun akademik 2025/2026. Kegiatan ini berlangsung dua hari, 8–9 September 2025, di Convention Hall Mahligai Agung Pascasarjana UBL, Kampus Sri Hayati Barusman.
Acara dibuka secara resmi oleh Rektor UBL, Prof. Dr. M. Yusuf S. Barusman, MBA, ditandai dengan penyematan jas almamater kepada dua perwakilan mahasiswa baru. Sebuah prosesi simbolis seakan mengukuhkan bahwa perjalanan panjang mahasiswa dimulai dari sekadar memakai jas biru kebanggaan, lalu diuji apakah kelak bisa mengisi jas itu dengan prestasi, atau hanya menambah koleksi foto di Instagram.
Hadir pula Ketua Yayasan Administrasi Lampung (YAL), Ir. Ratna Hapsari Barusman, MM., M.H., jajaran pimpinan, hingga civitas academica. Kehadiran mereka seolah ingin menunjukkan, “Inilah rumah akademik tempat kalian ditempa, sekaligus tempat setiap jargon pendidikan tinggi diuji konsistensinya.”
Dalam sambutannya, Prof. Yusuf menyampaikan penghargaan tinggi kepada mahasiswa baru dan orang tua yang telah mempercayakan pendidikan di UBL.
“Selamat datang di kampus terbaik untuk masa depan terbaik,” ujarnya penuh keyakinan.
Pernyataan ini tak pelak mengundang refleksi. Sebab di Indonesia, kata “kampus terbaik” sering kali berbanding lurus dengan baliho promosi di pinggir jalan, lengkap dengan foto rektor tersenyum. Namun, UBL menegaskan klaimnya dengan catatan: tujuh tahun berturut-turut menjadi Perguruan Tinggi Swasta terbaik se-Sumbagsel versi LLDikti Wilayah II.
Tak cukup sampai di situ, sang Rektor juga menegaskan bahwa UBL mendapat apresiasi dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi sebagai kampus yang berhasil menjalankan konsep “Kampus Berdampak.” Klaim ini merujuk pada keberhasilan membawa hasil riset ke masyarakat dan industri. Sebuah capaian yang, jika benar-benar konsisten, bisa menjadi bukti bahwa kampus tak sekadar melahirkan skripsi yang berdebu di perpustakaan.
Prof. Yusuf lantas membawa audiens merenung dengan data keras. Dari 100 pemuda Indonesia usia 19–24 tahun, hanya 33 yang berkesempatan kuliah. Di Lampung lebih getir lagi: hanya 22 dari 100, atau 1 dari 5 anak muda.
“Artinya, kalian adalah kelompok yang beruntung,” tegasnya.
Sebuah fakta yang satir sekaligus ironis: pendidikan tinggi masih jadi privilese, bukan hak yang merata. Di balik gemerlap jas almamater, masih banyak pemuda sebaya yang harus pasrah di bengkel, sawah, atau pabrik, bukan karena tak punya mimpi, tapi karena tak punya biaya.
Usai sambutan akademik, acara diwarnai sesi tanya jawab berhadiah dorprize dari pihak sponsor. Keriuhan mahasiswa baru yang mengincar hadiah seolah jadi selingan wajib: bahwa di kampus, antara ilmu dan hiburan harus diaduk rata agar mahasiswa tak cepat bosan.
Kepala Biro Pembinaan Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni UBL, Dra. Yulfriwini, M.T., kemudian memberi motivasi. Ia menekankan bahwa kampus adalah ruang proses, bukan ruang instan. Bahwa tujuan akhir bukan sekadar wisuda dengan toga rapi, tapi bagaimana bisa “diproduksi” sebagai insan bermanfaat di tengah masyarakat.
Kevin, salah satu mahasiswa baru, mengaku terkesan. Baginya, kuliah di UBL bukan hanya soal kelas, tapi juga jejaring internasional. Ia menyebut UBL sudah banyak bekerja sama dengan negara lain, termasuk Jepang.
“Asik kuliah di UBL, wawasan berintegritas dan tidak diragukan. Kalau bukan sekarang kapan lagi? Kita adalah generasi bangsa, bagian dari keluarga besar Indonesia emas 2045,” katanya, sembari bercanda menyelipkan tagline iklan: “senyum Pepsodent.”
PPK UBL 2025 bukan hanya seremoni penyambutan mahasiswa baru. Di balik prosesi jas almamater dan gegap gempita dorprize, terselip pesan penting: kuliah adalah kemewahan yang tak dimiliki semua anak bangsa.
UBL boleh saja mengklaim diri sebagai kampus terbaik, tapi ukuran sejati pendidikan tinggi bukan sekadar predikat atau penghargaan, melainkan bagaimana alumninya bisa benar-benar “berdampak” bukan hanya bagi statistik akreditasi, tapi bagi masyarakat yang masih berkutat dengan persoalan nyata.
Dan di titik inilah, mahasiswa baru UBL 2025 diuji: apakah akan menjadi generasi yang benar-benar menyongsong mentari Indonesia emas, atau sekadar menunggu giliran ikut job fair dengan map coklat di tangan.***













