Opini

ANAK-ANAK YANG MATI RASA

×

ANAK-ANAK YANG MATI RASA

Sebarkan artikel ini

Oleh: M. Fauzil Adhim

Kelak akan tiba masanya, seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, orangtua berpayah-payah mendidik anak, tetapi anaknya memperlakukan emaknya seperti tuan memperlakukan budaknya. Dan aku takut peristiwa itu akan terjadi di masa ini, masa ketika anak-anak tak mengenal pekerjaan rumah tangga, dan pesantren atau sekolah-sekolah berasrama lainnya tak lagi menjadi tempat bagi anak untuk belajar tentang kehidupan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Anak-anak itu belajar, tetapi hanya mengisi otaknya dari pengetahuan yang dapat diperoleh dari buku teks dan google. Sementara bersih tidak pernah pernah atau pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik lainnya, sehingga empati itu mati sebelum berkembang. Tak tergerak hatinya bahkan di saat melihat emaknya kesulitan bernafas seumpama orang hampir mati karena ketuaan atau sakitnya kambuh, tetapi anak tak bergeming membantunya. Apalagi berupaya melakukan yang lebih dari itu.

Aku termangu mengingat nasehat Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengenai tanda-tanda hari kiamat, salah satunya dari hadis panjang yang kali ini kita nukil ringkasnya:

سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ رَبَّتَهَا
.
Aku akan memberitahukan kepadamu tanda-tandanya; jika seorang (sahaya) wanita melahirkan tuannya. ” (Muttafaqun ‘Alaih)

Ibunya pesan seorang budak. Bukan. Ibunya orang merdeka. Tetapi anak-anak itu tak tersentuh hatinya untuk cepat tanggap membantu ibunya. Saat membantu saat ini adalah takaran minimal bakti kepada orangtua. Takaran di atas itu, tanpa bantuan pun ia sudah tergerak membantu.

Dan di atasnya lagi masih bertingkat-tingkat-tingkat peringatan maupun kepekaan seorang anak tentang apa yang sepatutnya ia perbuat terhadap kedua orangtuanya.

BACA JUGA :  Panca Sila, hidup atau Mati?

Ada yang perlu kita renungi. Ada airmata yang perlu mengalir, menadahkan tangan mendo’akan anak-anak dan keturunan kita, menangisi dosa-dosa, berusaha memperbaiki diri dan tetap tidak meninggalkan nasehat bagi anak kita karena ini adalah haknya. Nasehat.

Ia adalah kewajiban kita untuk memberikannya meskipun mereka tak memintanya. Kitalah yang harus tahu kapan saat tepat memberikan nasehat karena semakin memerlukan nasehat, justru kerapkali semakin merasa tak memerlukan nasehat.

Hari ini, betapa banyak anak yang di sekolah berasrama tak diajari mengurusi kehidupan karena makanan siap saji setiap waktu makan, hanya perlu berbaris untuk mengambilnya.

Sedangkan pakaian pun tak perlu ia menyempatkan waktu jadwal agar bersih saat mau digunakan, karena sudah ada laundry, sementara tugas sekolah tetap tertunaikan.

Tidak terbengkalai. Maka di saat mereka pulang, kita perlu melatih tangan dan juga senang hati tanggap. Bukan menyerahkan begitu saja kepada pembantu. Hal ini hanya urusan pekerjaan rumah tangga yang sepele, tetapi di dalamnya ada kecakapan pembantu, pembinaan waktu dan lebih penting lagi adalah empati.

Apakah tidak boleh kita menggembirakan mereka dengan sajian istimewa saat mereka pulang dari pesantren? Boleh. Sangat boleh. Tetapi sebaiknya kita tidak merampas kesempatan mereka untuk belajar mengenal pekerjaan rumah-tangga, menghidupkan empati dan mengasah kepekaannya membantu orangtua.

Liburan adalah saat tepat belajar kehidupan. Bukan saat untuk libur menjadi orang yang baik sehingga seluruh berita yang biasa mereka jalani di sekolah, saat liburan tiba. Mereka seperti raja untuk sementara, sebelum kembali ke penjara suci.

BACA JUGA :  Kisah Kecebong, Kampret dan Kadal Gurun

Diam-diam saya teringat, konon di sebuah sekolah bernama Eton College, semacam Muallimin di Inggris tempat anaknya raja atau anak orang sangat kaya bersekolah, para siswa diharuskan mewajibkan dan menyeterika bajunya sendiri.

Bukan bayar laundry. Ini bukan karena orang tua mereka fakir miskin. Bukan. Tetapi karena dalam urusan yang sederhana itu ada yang sangat penting bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang, termasuk dalam hal kepemimpinan. Mereka menjadi lebih peka tentang apa yang seharusnya dilakukan saat menjadi pemimpin, termasuk dalam staf waktu.

Apa yang dilakukan di Eton College sebenarnya bukan barang baru, tetapi saya merasa perlu menghadirkan kisah ini hanya untuk menggambarkan betapa anak-anak memerlukan latihan untuk mengasah kepekaannya, menghidupkan empati dan meringankan langkahnya membantu orang tua.

Mereka sangat perlu memiliki semua itu karena dua alasan. Pertama, ketiganya (kepekaan, empati dan kemauan untuk meringankan langkah) sangat mereka butuhkan dalam menjalani kehidupan bersama orang lain, baik ketika berumah-tangga maupun berdakwah dan mengurusi ummat.

Artinya, minimal semua itu kebutuhan untuk meraih kehidupan rumah tangga yang baik, tidak terkecuali dalam mendidik anak. Kedua, ketiganya kebutuhan untuk dapat menerima kebajikan bagi kedua orang tua (birrul walidain) sebaik-baiknya. Dan birrul walidain merupakan salah satu kunci inspirasi yang dengan itu anak dapat berharap meraih ridha dan surga-Nya Allah ‘Azza wa Jalla.

Jadi, yang terpentingnya bukan karena kita kewalahan lalu untuk mendapatkan bantuan mereka. Bukan. Bukan pula karena kita repot sehingga memerlukan kesediaan mereka untuk meringankan tugas-tugas kita.

Tetapi hal yang terpenting dari melibatkan anak membantu pekerjaan di rumah dan tanggap terhadap anak gereja yang benar untuk keselamatan dan anak kita di masa-masa yang akan datang.

BACA JUGA :  Kok Bisa, Situs BIN Diretas HACKER!!

Kejamlah orang tua yang tak melatih anaknya untuk berbakti hanya karena orang tua yang perlu menuntut anak membantunya. Ingatlah, kita latih, dorong dan suruh mereka agar cepat tanggap dan ringan membantu terutama untuk meringankan beban orang tua, tetapi justru agar anak-anak kita memperoleh kemuliaan dan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dengan birrul walidain.

Sekurang-kurang tidak menyebabkan mereka terjatuh pada perbuatan mendurhakai orangtua. Dan ini merupakan serendah-rendah ukuran.

Ada yang perlu kita khawatiri jika lalai siapkan mereka. Pertama, anak-anak direksi kebajikan kepada kedua orangtua, termasuk membantu pekerjaan di rumah, bukan sebagai tugasnya. Mereka tak membangkang, tetapi lalai terhadap apa yang sepatutnya mereka kerjakan.

Ini merupakan akibat paling ringan. Kedua, anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang durhaka kepada orangtua. Dan karena kedurhakaan itu bersebab kelalaian orang tua dalam mendidik, maka di Yaumil Qiyamah mereka menjatuhkan orangtua di mahkamah Allah ‘Azza wa Jalla sehingga justru orang yang merasakan azab akhirat.

The 3rd, the inflourment, in the hadis in the top, children berkembang menjadi private yang memperbudak parent, bahkan setelah mereka mempunyai anak. Na’udzubiLlahi min dzaalik.

Ada yang perlu kita renungkan tentang bagaimana kita mendidik anak-anak kita. Saatnya kita kembali ke tuntunan agama ini, bertaqwa kepada-Nya dalam urusan mendidik anak dan mencoba mencari tahu tentang apa saja yang harus kita bekalkan kepada mereka.

.

#Fatherhood Community
#Home Based Education
#Ayah Pendidik Peradaban