Sikap itu mengundang marah para pendukung Presiden Jokowi. Sekaligus mempertebal simpati pada paslon 02 yang di endorse Presiden Jokowi. .
Kedua, sikap merendahkan terhadap cawapres 02, Gibran. Sebagai anak ingusan, anak kemarin sore, bau kencur. Sikap itu bisa memicu antipati.
Gibran merupakan putra Presiden Jokowi. Pendukung presiden bisa marah, karena putranya direndahkan. Juga bisa dianggap sebagai merendahkan kaum muda.
Ketiga. Statemen capres 03 kepada capres 02 dengan skor kinerja 5. Begitu pula dengan statemen tidak pantas penjahat HAM untuk dipilih sebagai presiden.
Statemen itu bisa dinilai arogan. Kinerja Kemenhan tidak serendah itu. Sementara kasus HAM hingga saat ini tidak ada keputusan pengadilan.
Publik bisa menilai sebagai sikap berlebihan. Ingin memenangkan kontestasi dengan merendahkan lawannya secara melampaui batas.
Keempat, statemen Guntur Soekarno. Bahwa jika kalah, presiden Jokowi harus di “hukum”. Atau diberi sanksi.
Statemen itu bisa dinilai publik sebagai arogan. Merasa paling berkuasa. Sok jumawa. Bahwa pihak lain itu rendah derajadnya.
Dampaknya meningkatkan simpati pada paslon 02 yang di endorse presiden.
Hampir dilupakan orang bahwa dukungan rakyat terhadap Jokowi sebagai cerminan anti elitisisme. Capres-capres yang tersedia pada saat kemunculannya berasal dari kalangan elit.
SBY (presiden sebelumnya berasal dari elit militer). Megawati berasal dari elit dinasti elit politik. Ia putra presiden. Prabowo (2014 & 2019) dari elit militer.
Jokowi kala itu dianggap representasi rakyat bawah. Bukan kalangan elit yang tdk bisa dipercaya. Buktinya korupsi tetap merajalela.
Pilpres 2024 ini belum melunturkan aura Jokowi sebagai anti elitisisme. Lawan capres yang di endorse Presiden (Prabowo) adalah Anis Baswedan, cucu menteri keuangan.
Lawannya lagi adalah Ganjar-Mahfud, petugas partai PDIP. Bisa dimaknai petugas ketua umum PDIP Megawati. Perpanjangan tangan Megawati. Jadi masih dari kalangan elit.
Jokowi masih dianggap representasi rakyat bawah. Melawan Jokowi bisa dimaknai sebagai melawan gerakan politik masyarakat bawah. Capres yang di endors otomatis dinilai sebagai anti elitisisme juga.
Kembali ke soal arogansi.
Sikap-sikap politik atau komunikasi sebagaimana uraian di atas, baik dari paslon 01, maupun 03, bisa dinilai oleh masyarakat sebagai bentuk arogansi. Maka keduanya divonis dengan kemerosotan elektabilitas.
Tapi apa betul asumsi-asumsi di atas itu?. Sebagai bentuk arogansi dan divonis oleh masyarakat dengan ditinggalkan dukungannya?.
Jawabannya akan kita ketahui pada 14 Februari 2024 nanti.
ARS (rohmanfth@gmail.com), 10-02-2024