BANDARLAMPUNG – Ribuan mahasiswa, masyarakat, hingga abang ojol tumpah ruah di depan Gedung DPRD Lampung, Senin (1/9/2025). Mereka membawa poster, toa, dan tentu saja amarah yang diramu dengan harapan, sepuluh tuntutan rakyat Lampung agar tidak sekadar jadi catatan di map tebal DPRD, tapi benar-benar sampai ke meja Presiden Prabowo Subianto.
Ketua BEM Unila, Muhammad Ammar Fauzan, tampil sebagai dirigen orkestra perlawanan ini. Ia menegaskan bahwa tuntutan bukan hanya suara mahasiswa yang “gabut di kampus”, melainkan jeritan rakyat Lampung yang sudah bosan ditindas aturan dan disesaki janji.
“Kami tidak bermaksud mengusik investasi, tapi tolong jangan seenaknya juga dengan rakyat. Kalau perusahaan bisa patuh pada undang-undang, kenapa rakyat disuruh sabar tiap hari?” sindir Ammar, menyentil masalah HGU PT Sugar Group Companies (SGC).
Gubernur Duduk Lesehan
Di luar dugaan, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal tidak bersembunyi di balik kaca gedung atau mengandalkan pagar kawat berduri. Ia justru datang, duduk lesehan di aspal panas bersama mahasiswa. Sebuah pemandangan langka: gubernur jadi “teman diskusi dadakan” sementara anggota DPRD hanya jadi latar gedung megah yang lebih banyak diam ketimbang mendengar.
“Sebagai Gubernur, saya akan membawa aspirasi ini langsung kepada Presiden,” tegas Mirza, dengan gaya yang lebih mirip MC acara rakyat ketimbang pejabat birokratis.
Sepuluh Tuntutan
Dari pemotongan gaji DPR yang kelewat gemuk, hingga reformasi agraria untuk petani Anak Tuha, tuntutan mahasiswa terasa seperti daftar panjang tamparan politik. Berikut daftarnya:
- UU Perampasan Aset – biar koruptor nggak cuma pindah rumah ke apartemen mewah di luar negeri.
- Potong gaji DPR – karena mereka lebih sering “absen” ketimbang mahasiswa tingkat akhir.
- Naikkan gaji guru dan dosen – biar masa depan bangsa nggak terus dididik dengan fotokopi semangat.
- Copot menteri bermasalah – kalau kabinet isinya drama, rakyat capek jadi penonton.
- Bongkar partai politik busuk – agar politik bukan sekadar “bisnis keluarga”.
- Reformasi Polri – khususnya mengadili kasus Affan Kurniawan, supaya hukum bukan hanya tajam untuk rakyat kecil.
- Tolak RKUHP – karena jangan sampai rakyat dikriminalisasi hanya gara-gara update status.
- Jangan pangkas anggaran pendidikan & kesehatan – masa anggaran untuk jalan-jalan pejabat lebih besar dari biaya RS?
- Stop pajak untuk menindas rakyat – rakyat bayar pajak, bukan bayar premanisme berseragam.
- Reforma agraria – biar petani Lampung punya lahan, bukan cuma mimpi tiap panen raya.
Berbeda dengan kota lain yang berakhir ricuh, Lampung justru memberi pelajaran, demokrasi bisa adem meski cuaca panas. Dialog terbuka, duduk bareng, hingga hujan deras di sore hari jadi penutup simbolis: aspirasi rakyat jatuh deras, tapi semoga kali ini tidak hanyut di selokan birokrasi.
Kapolda Lampung bahkan bernafas lega, memuji mahasiswa dan aparat yang sama-sama memilih kepala dingin ketimbang otot panas.
Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, tapi pementasan politik rakyat. Mahasiswa tampil sebagai aktor utama, gubernur mendadak jadi cameo, dan DPRD tetap jadi properti panggung.
Sementara rakyat Lampung? Mereka menulis naskah yang jujur bahwa demokrasi tidak harus selalu berakhir dengan gas air mata.***