JAKARTA – Setelah sempat berupaya menjadikan berkas-berkas calon presiden seperti ijazah, SKCK, dan akta kelahiran sebagai “rahasia negara”. Akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mundur teratur. Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 yang sempat bikin publik garuk-garuk kepala akhirnya resmi dibatalkan.
Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, muncul di hadapan pers hari ini dan mengumumkan bahwa pihaknya telah resmi membatalkan keputusan kontroversial itu.
Dengan wajah cukup tenang meski mungkin di dalam hati menjerit karena tekanan publik dan logika hukum Afif mengatakan bahwa pembatalan ini hasil koordinasi dengan banyak pihak, termasuk Komisi Informasi Pusat.
“Akhirnya kami secara kelembagaan memutuskan membatalkan keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025,” ujar Afif, seolah mengakui bahwa menyembunyikan ijazah capres di laci besi anti-publik bukan ide jenius.
Untuk diketahui, Keputusan 731/2025 sempat menyulut kemarahan publik. Pasalnya, KPU menetapkan 16 dokumen penting dari calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi yang dikecualikan.
Artinya, masyarakat yang penasaran apakah calon pemimpinnya benar-benar lulus kuliah atau cuma lulus audisi “Siapa Mau Jadi Presiden?” tidak bisa mengakses informasi itu tanpa izin.
Beberapa dari dokumen “rahasia banget” itu termasuk:
- Ijazah
- Akta kelahiran
- e-KTP
- Surat keterangan sehat dari RS pemerintah
- Daftar riwayat hidup
- Profil singkat dan rekam jejak
- SKCK
- LHKPN
Coba bayangkan, masyarakat bisa tahu berapa harga sandal menteri di mal, tapi tidak boleh tahu siapa yang pernah duduk di bangku kuliah dan siapa yang cuma duduk di bangku taman sambil mimpi jadi presiden.
KPU sempat berkelit, dengan menyebut bahwa mereka hanya mengikuti UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang memang mengatur bahwa data pribadi harus disertai persetujuan pemilik.
“Kami hanya menyesuaikan dengan aturan,” kata Afif seperti aktor pendukung dalam drama hukum berkepanjangan.
Namun publik menanggapi: “Loh, bukankah saat seseorang mencalonkan diri sebagai presiden, otomatis ia sudah menyerahkan dirinya ke ruang publik, termasuk untuk diperiksa riwayat hidup dan ijazahnya? Atau jangan-jangan ada yang perlu disensor dari masa lalunya?”
Dalam dunia demokrasi, dokumen seperti ijazah bukanlah harta karun yang perlu disimpan di gua yang dijaga naga. Mereka adalah syarat administratif yang wajib ditunjukkan, bukan disembunyikan.
Tapi entah kenapa, dalam republik yang katanya demokratis ini, ada saja upaya menutupi informasi dasar dengan alasan “privasi”.
Kritik berdatangan dari berbagai kalangan akademisi, LSM, masyarakat sipil, bahkan warung kopi semua bertanya hal yang sama:
“Kalau memang asli, kenapa takut tunjukkan?”
Ironisnya, keputusan menutup dokumen itu justru semakin memperkuat kecurigaan publik. Bukannya meredam isu, malah menyiram bensin ke api kecurigaan. Ini semacam orang yang berdiri di depan kulkas terbuka sambil bilang “Saya tidak makan cokelat itu”, padahal tangannya belepotan cokelat.
Dengan dibatalkannya Keputusan 731/2025, publik kembali mendapatkan secercah harapan bahwa transparansi belum sepenuhnya mati. KPU akhirnya mengakui bahwa, ya, mungkin tidak semua harus dikunci rapat seperti rahasia negara. Terutama jika itu menyangkut siapa yang akan memimpin negara 5 tahun ke depan.
Namun, pembatalan ini bukanlah kemenangan mutlak. Ini hanya satu ronde dalam pertarungan panjang antara rakyat yang ingin kebenaran dan sistem yang kadang terlalu nyaman dalam gelap.
Sekarang, tinggal kita tunggu, apakah ijazahnya akan benar-benar muncul, atau justru akan lahir peraturan baru yang kembali mencoba membungkam rasa ingin tahu rakyat.
Karena di negeri ini, minta kejelasan soal ijazah bisa lebih rumit daripada ngurus SIM.
Ditulis di negeri +62, di mana ijazah bisa jadi lebih misterius dari hubungan Raisa dan Hamish sebelum resmi.***